Kamis, 2 Oktober 2025

GMNI Bantah Tudingan Soekarno 'Tukang Penjarakan Ulama'

DPP GMNI) menanggapi pernyataan Sekjen Habib Rizieq Shihab Center Ustadz Haikal Hassan yang menyebut Presiden pertama RI Soekarno sebagai 'tukang penj

Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-inlihat foto GMNI Bantah Tudingan Soekarno 'Tukang Penjarakan Ulama'
Foto/net
Soekarno

Salah satu pemberontakan itu adalah PRRI/Permesta, yang kemudian terbukti didukung pihak asing serta beberapa tokoh Masyumi. 

"Ditengah situasi kondisi itu, pada 14 Maret 1957, Bung Karno memberlakukan keadaan darurat perang. Kemudian pada Desember 1957, dibuat UU Keadaan Bahaya yang mencakup tingkat keadaan darurat dan tingkat keadaan bahaya. Dan keadaan itu berlaku sampai 1963," ujar Sujahri. 

Sujahri lantas mengingatkan, yang memegang kendali atas situasi politik, sosial, bahkan ekonomi selama 6 tahun keadaan darurat itu adalah militer. Kepala Staf Angkatan Darat kala itu, Letjen Abdul Haris Nasution, menjadi Penguasa Perang Pusat yang punya kendali atas situasi politik, sosial dan ekonomi di negeri ini. 

Dimasa itulah, lanjut Sujahri, terjadi penangkapan-penangkapan terhadap para tokoh dari berbagai partai atau ideologi, termasuk tokoh atau ulama dari Masyumi. Tujuannya memang untuk mewujudkan stabilitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang dianggap rusak selama masa demokrasi Liberal. Apalagi, tokoh-tokoh Masyumi kala itu terlibat pemberontakan PRRI/Permesta. 

"Pada September 1958, Letjen Nasution mengumumkan pembekuan Partai Masyumi di daerah-daerah yang mendukung PRRI dan Permesta, diikuti dengan penangkapan terhadap tokoh-tokoh partai tersebut. Itu dilakukan dua tahun sebelum Bung Karno membubarkan Masyumi pada 1960," ujar Sujahri. 

"Dan sangat perlu dicatat, penangkapan tak hanya dilakukan terhadap tokoh atau ulama Masyumi. Tapi juga terhadap tokoh-tokoh yang bukan berideologi Islam seperti Sutan Sjahrir, Mochtar Lubis, dan Princen. Bahkan Pramoedya Ananta Toer yang dipandang sebagai tokoh Kiri, juga dipenjara pada 1960," ungkap Sujahri. 

Oleh karena itu, GMNI ingin semua pihak memandang sejarah secara utuh. Dan yang tak kalah penting, sejarah harus dibaca secara kontekstual. 

"Setiap masa, punya tantangannya sendiri. Tak tepat bila kita meninjau sejarah, dengan menggunakan 'kacamata' masa kini. Maka sejarah harus dibaca secara kontekstual. Sebab bila sejarah dibaca tanpa konteks, maka yang muncul adalah pandangan picik semacam tuduhan terhadap Bung Karno seperti yang diutarakan Haikal Hassan," ujar Sujahri. 

Apalagi faktanya Bung Karno dekat dengan para ulama. Sejarah mencatat, kata dia, Bung Karno sering meminta nasihat ulama dikala moment-moment penting dalam sejarah bangsa ini, seperti ketika merumuskan Pancasila serta menentukan hari Proklamasi Kemerdekaan. 

"Yang tak boleh dilupakan juga, adalah ketika Bung Karno diberi gelar Waliyy Al-Amr Al-Daruri Bi Al-Syaukah oleh para ulama Nahdlatul Ulama (NU) di tahun 1954. Itu adalah wujud pengakuan NU terhadap Bung Karno sebagai pemimpin nasional dengan kewenangan mutlak,” ujar Sujahri.

Menanggapi hal sama, Ketua Umum DPP GMNI Imanuel Cahyadi mengakui  sejarah negeri ini memang pernah diwarnai pertentangan diantara para pemimpin dan tokoh bangsa. Termasuk yang melibatkan Bung Karno, Nasution, Sjahrir, Natsir serta tokoh-tokoh lainnya.

Namun, Imanuel meminta semua pihak tidak menarik konflik masa lalu ke masa kini. Apalagi dengan menyudutkan founding father Indonesia, Bung Karno. Sebab hal itu hanya akan memecah-belah bangsa ini. 

"Seluruh pemimpin dan tokoh dalam sejarah memang punya kekurangan. Tak ada yang sempurna. Tapi yang harus kita ingat, Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, Jendral Nasution, Hamka, Natsir, tokoh-tokoh Masyumi, NU, PNI dan lainnya punya jasa besar bagi bangsa dan negara ini. Mari kita hargai dan jadikan warisan positif mereka, sebagai modal bagi pembangunan negeri ini kedepannya. Hentikan narasi-narasi yang merusak pemikiran dan memecah-belah publik!" tegas Imanuel.
 

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved