GMNI Bantah Tudingan Soekarno 'Tukang Penjarakan Ulama'
DPP GMNI) menanggapi pernyataan Sekjen Habib Rizieq Shihab Center Ustadz Haikal Hassan yang menyebut Presiden pertama RI Soekarno sebagai 'tukang penj
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP GMNI) menanggapi pernyataan Sekjen Habib Rizieq Shihab Center Ustadz Haikal Hassan yang menyebut Presiden pertama RI Soekarno sebagai 'tukang penjarakan ulama' dalam satu unggahan video yang beredar di media sosial, baru-baru ini.
Haikal Hassan juga mengisahkan tentang pertemuan muktamar ulama pada 11 September 1957.
Muktamar ulama tersebut, menurut Haikal, digelar di Palembang dan dihadiri sejumlah ulama dan tokoh nasional seperti Buya Hamka, Muhammad Natsir, Syahrir hingga Kahar Mudzakkar.
Dan Bung Karno, menurut Haikal, bersama tokoh PNI, PKI dan Nasakom menjelek-jelekkan para ulama yang sedang melangsungkan muktamar di Palembang tersebut, dengan menyebut ulama dan tokoh nasional yang menghadiri muktamar itu tidak bermoral (amoral).
Sekjen DPP GMNI Sujahri Somar menegaskan Haikal menceritakan sejarah tanpa konteks.
Sehingga yang tampak dari upaya Haikal adalah merusak pemikiran publik tentang Bung Karno.
"Dengan membangun opini bahwa Bung Karno 'tukang memenjarakan ulama', Haikal telah merusak pemikiran publik. Sebab opini yang dia bangun berdasarkan suatu peristiwa sejarah dengan 'memenggal' konteks nya," tegas Sujahri, kepada wartawan, Rabu (14/4/2021).
Sujahri menyatakan, muktamar ulama yang disebut oleh Haikal itu, adalah kegiatan bertajuk "Muktamar Ulama se-Indonesia" tanggal 8-11 September 1957 di Palembang.
Sujahri mengungkapkan yang harus dipahami adalah Muktamar itu digagas oleh tokoh-tokoh Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Memang kebetulan beberapa tokoh Masyumi itu adalah ulama.
Baca juga: Nama Kuat Non-Trah Soekarno di Bursa Ketum PDIP : Jokowi dan Budi Gunawan
"Dan ketika itu, Bung Karno dengan tokoh-tokoh Masyumi memang sedang ada perbedaan pandangan, tentang beberapa isu politik. Kebetulan beberapa tokoh Masyumi itu adalah ulama. Tapi tak bisa dikatakan, Bung Karno memusuhi Ulama, hanya karena berbeda pandangan dengan Masyumi," ujar Sujahri.
Apalagi, sambung Sujahri, Muktamar Palembang itu juga tidak merepresentasikan ulama maupun umat Islam Indonesia.
Hal itu dibuktikan pada tanggal 10 November 1957, ketika para Ulama Betawi menggelar musyawarah di Jakarta Timur. Musyawarah itu dipimpin oleh Habib Salim bin Djindan al-Alawi al-Indonesi, yang merupakan ulama besar di tanah Betawi.
"Hasil musyawarah itu, adalah penolakan para ulama Betawi terhadap Putusan Muktamar Alim Ulama di Palembang. Itu bukti bahwa Muktamar Palembang tidak merepresentasikan ulama atau umat Islam di Indonesia," ungkap Sujahri.
Sujahri melanjutkan, pernyataan Haikal bahwa Bung Karno tukang penjarakan ulama juga merupakan tuduhan serampangan yang menghilangkan konteks sejarah. Perlu dipahami, sambung Sujahri, apa yang disebut Haikal sebagai "pemenjaraan ulama" itu terjadi ketika Keadaan Darurat Perang (De Regeling op de Staat van Oorlog en Beleg-SOB) diberlakukan pada 14 Maret 1957 oleh Presiden Sukarno.
Keadaan Darurat Perang itu, kata dia, diberlakukan akibat tekanan situasi kala itu yang sangat tidak stabil akibat penerapan sistem Demokrasi Liberal. Sebagai negara yang baru keluar dari revolusi kemerdekaan, Indonesia diguncang oleh konflik politik, jatuh bangunnya Kabinet hingga pemberontakan-pemberontakan di berbagai daerah.