Dua Tim Pemerintah Mulai Bekerja Senin Pekan Depan Bahas UU ITE
Mahfud MD mengatakan pihaknya membentuk dua tim untuk membahas Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Laporan Wartawan Tribunnews Taufik Ismail
TRIBUNNEWS. COM, JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengatakan pihaknya membentuk dua tim untuk membahas Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Satu dari dua tim tersebut akan membahas mengenai kemungkinan revisi UU ITE.
Dalam kerjanya nanti, tim tersebut akan mengundang sejumlah elemen untuk berdiskusi mulai dari Pakar, Media, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan lainnya.
Diskusi terutama mengenai tudingan adanya pasal karet dalam UU tersebut.
Baca juga: Gandeng Kemenkominfo, Polisi Dunia Maya akan Tegur Warganet yang Langgar UU ITE
"Untuk mendiskusikan benar tidak bahwa ini perlu revisi. Kalau memang perlu revisi, mari kita revisi," kata Mahfud dalam video yang diterima Tribunnews.com, Jumat, (19/2/2021).
Selain itu, Mahfud MD mengatakan pihaknya juga akan berdisuki dengan DPR.
Karena ada sebagian anggota dewan yang tidak setuju dengan revisi UU ITE.
"Kan banyak juga orang-orang di DPR yang tidak setuju Kalau UU ini diubah karena alasannya loh bahaya loh negara ini kalau tidak punya undang-undang begitu bagaimana kalau orang mencaci maki lewat medsos? Bagaimana kalau orang memfitnah dan membuat cerita bohong yang membahayakan? atau membuat konten konten pornografi tetapi tidak dibuat langsung melainkan medsos itu itu apakah itu akan dihapus atau ketentuan yang seperti itu. nah kita akan diskusi," katanya.
Baca juga: Mahfud MD Bentuk 2 Tim Untuk Bereskan Masalah UU ITE
Sementara itu, satu tim lainnya kata Mahfud bertugas membuat interpretasi yang lebih teknis dan memuat kriteria implementasi dari pasal-pasal yang selama ini sering dianggap pasal Karet.
"Jadi dua tim ini akan sudah mulai bekerja hari Senin, hari Senin tanggal 22 bulan Februari ini dan mereka akan dipanggil untuk segera bekerja," katanya.
Jokowi: Kalau UU ITE Tidak Beri Rasa Keadilan Saya Minta DPR Revisi
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyoroti banyaknya masyarakat yang saling melaporkan ke polisi dalam beberapa waktu belakangan ini.
Para pelapor menggunakan pasal Undang-undang Informasi dan transaksi Elektronik (ITE).
Jokowi mengatakan akan meminta DPR untuk merevisi UU ITE, bersama pemerintah, apabila undang-undang tersebut tidak memberikan rasa keadilan.
"Kalau UU ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, ya, saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi UU ini," kata Jokowi dalam rapat pimpinan TNI/Polri di Istana Negara, Jakarta, Senin (15/2/2021).
Baca juga: KPK Apresiasi Rencana Penyimpanan Barang Gratifikasi Jokowi Rp 8,7 M di Museum
Revisi UU ITE tersebut kata presiden terutama dilakukan pada pasal-pasal karet yang multi tafsir.
Pasal-pasal yang bisa ditafsirkan secara sepihak.
" UU ITE ini. Karena di sinilah hulunya. Hulunya ada di sini, revisi," katanya.
Meskipun demikian kata Presiden ruang digital di Indonesia tetap harus dijaga.
Tujuannya agar ruang digital di Indoensia sehat dan beretika.
"Agar penuh dengan sopan santun, agar penuh dengan tata krama, dan produktif," katanya.
Sebelumnya banyaknya laporan polisi terkait orang-orang yang bersebrangan dengan pemerintah mendapatkan sorotan sejumlah pihak.
Salah satunya mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Baca juga: Presiden Jokowi Lantik Gubernur Beserta Wakil Gubernur Kaltara dan Sulut
Jusuf Kalla mempertanyakan cara mengkritik pemerintah tanpa dipanggil Polisi.
"Presiden mengumumkan, silakan kritik pemerintah. Tentu banyak pertanyaan, bagaimana caranya mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi?" kata Jusuf Kalla dalam acara diskusi virtual yang digelar Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Jumat (12/2/2021) dikutip dari Kompas Tv.
Hal tersebut, kata Jusuf Kalla (JK), harus diupayakan agar kritik terhadap pemerintah tidak berujung pada pemanggilan oleh kepolisian.
Menurut JK, kritik sangat diperlukan dalam pelaksanaan sebuah demokrasi.
"Harus ada check and balance. Ada kritik dalam pelaksanaannya," katanya.
Di acara diskusi virtual bertema "Mimbar Demokrasi Kebangsaan" ini, JK juga mengingatkan kepada PKS sebagai partai oposisi untuk melakukan kritik kepada pemerintah.
Karena keberadaan oposisi penting untuk menjaga kelangsungan demokrasi.
"PKS sebagai partai yang berdiri sebagai oposisi tentu mempunyai suatu kewajiban untuk melaksanakan kritik itu. Agar terjadi balancing, dan agar terjadi kontrol di pemerintah."
"Tanpa adanya kontrol, pemerintah tidak dapat berjalan dengan baik," tutur JK.
Baca juga: Kapolri Buat Terobosan Baru, UU ITE Bakal Ditangani Lebih Selektif Agar Tak Jadi Pasal Karet
Diingatkan JK, indeks demokrasi di Indonesia saat ini dinilai menurun menurut The Economist Intelligence Unit (EIU).
"Tentu ini bukan demokrasinya yang menurun, tapi apa yang kita lakukan dalam demokrasi itu," ujarnya.
Menurutnya, ada hal-hal obyektif yang tidak sesuai dengan dasar-dasar demokrasi.
Dalam demokrasi, warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama, yakni dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Masalah utama dalam demokrasi itu disebabkan oleh mahalnya demokrasi itu sendiri.
Sehingga demokrasi tidak berjalan dengan baik.
"Untuk menjadi anggota DPR saja butuh berapa? Menjadi bupati dan calon pun butuh biaya. Karena demokrasi mahal. Maka kemudian menimbulkan kebutuhan untuk pengembalian investasi."
"Di situlah terjadinya menurunnya demokrasi. Kalau demokrasi menurun, maka korupsi juga naik. Itulah yang terjadi," kata JK.