Keterbatasan Regulasi Dinilai Sebagai Faktor Penyebab Korupsi Pemilu
Potensi korupsi atau kerugian uang negara dari dana Pemilu misalnya pengadaan-pengadaan saksi yang tidak masuk dalam dana kampanye
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penasihat pemantau kemitraan pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahidah Suaib menilai faktor keterbasan regulasi menjadi satu peyebab korupsi pemilu di Indonesia.
Keterbatasan pengaturan terkait dana pemilu, sangat dirasakan saat menjadi Wahidah menjadi anggota Bawaslu RI.
Wahidah menjelaskan, Undang-Undang Pemilu hanya mengatur mengenai dana kampanye dan bantuan keuangan negara untuk partai politik.
Sementara dia tegaskan, dana untuk pemilu tidak serta merta hanya sebatas dana kampanye dan bantuan keuangan negara.
“Dari berbagai pengalaman baik sebagai pemantau Pemilu maupun sebagai penyelenggara Pemilu, Bawaslu, keterbatasan regulasi ini sangat terasa keterbatasan pengaturan itu terkait dan pemilu. Yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu kan hanya dana kampanye, kemudian bantuan keuangan negara untuk partai politik,” ujarnya dalam diskusi virtual Anti-Corruption Summit 4 melalui Channel YouTube KPK RI, Kamis (19/11/ 2020).
Di luar negeri, kata dia, dana pemilu sejatinya diatur juga dalam aturan-aturan pemilu, karena potensi korupsi dan kerugian uang negara bisa terjadi pada dana pemilu.
Baca juga: Di Twitter, Trump Pecat Kepala Keamanan Siber Pemilu AS yang Sebut Tak Ada Kecurangan
“Potensi korupsi atau kerugian uang negara dari dana Pemilu misalnya pengadaan-pengadaan saksi yang tidak masuk dalam dana kampanye. Di situ juga boleh jadi anggaran-anggaran yang digunakan untuk itu tidak sesuai dengan aturan. Nah ini masih sangat terbatas,” jelasnya.
Kedua, keterbasan regulasi terkait definisi politik uang yang masih sangat terbatas.
Karena hanya mencakup pada tahapan pencalonan, kampanye dan pemungutan, penghitungan dan rekapitulasi suara.
“Politik uang dalam Undang-Undang Pemilu kita itu hanya mencakup tahap pencalonan, kampanye dan pungut hitung dan rekap.”
“Jadi defenisi politik uang dari berbagai Undang-Undang Pemilu yang ada dan telah berlaku selalu mengatakan memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada pemilih untuk memilih atau tidak untuk memilih calon tertentu. Jadi lingkupnya hanya sampai itu saja,” paparnya.
Semetara tarik-menarik kepentingan pemilu itu, lanjut dia, bukan hanya pada tahapan pemungutan dan penghitungan suara.
Dia mengatakan, pada penetapan daftar pemilih sudah terjadi tarik-menarik kepentingan politik di dalamnya.
Baca juga: Kominfo: Ayo Jadi Pemilih Cerdas, Sehat, dan Damai
“Apalagi di Pilkada, yang mensyaratkan pemilih itu harus yang berdomisili selama enam bulan di daerah tersebut untuk bisa dinyatakan sebagai pemilih atau dinyatakan punya hak pilih. Karena domisili pun bisa dimanipulasi oleh RT dan RW serta pelaksana tugas di bawahnya yang punya otoritas untuk menentukan data penduduk. Dan itu banyak terjadi pada pemilu-pemilu dan pilkada terjadi pada periode kami, manipulasi dan transaksional dalam penetapan data pemilih,” jelasnya.
Hal itu kata dia, tidak tercakup politik uang dalam defenisi pada Undang-Undang Pemilu .
Ketiga, dia menyebut mekanisme penetapan calon secara demokratis di internal partai politik belum diatur detail dalam Undang-Undang.
Dia menenggarai, proses pencalonan selalu menjadi ajang transaksional.
“Kenapa catatan ini sebagai salah satu faktor penyebab? Karena kalau kita melihat praktek pemilu yang ada, proses pencalonan selalu menjadi ajang transaksional penetapan kursi, jual beli kursi pencalonan,” ucapnya.
“Celakanya di Undang-Undang Partai Politik memang tidak begitu detail mengatur bagaimana sih proses pencalonan dilakukan. Hanya Dikatakan penetapan calon dilaksanakan secara demokratis,” jelasnya.
Dia menegaskan, dalam setiap kesempatan, Kemitraan mendorong agar pengaturan tentang penetapan calon secara demokratis dalam jenis apapun sebaiknya Undang-Undang mengatur lebih detail. Sehingga partai politik tidak mengabaikan partisipasi masyarakat dalam proses demokratis tersebut.
Kemudian keterbatasan regulasi itu terkait subyek hukum pidana pemilu yang dibatasi, yakni hanya pada tim kampanye pasangan calon, bukan setiap orang.
Selanjutnya terkait keterbatasan kewenangan Bawaslu dalam mengawasi dana kampannye. Karena terkait dana kampanye ini, Bawaslu diberi kewenangan untuk melihat, apakah penggunaan, pengeluaran dan pemasukannya sesuai aturan? Apakah pelaporannya telah tepat sesuai aturan?
Namun, kata dia, Bawaslu punya keterbatasan untuk mengakses rekening dana kampanye tersebut dan harus bekerjasama dengan PPATK.
“Nah kita mendorong agar Bawaslu ke depan kalau memang ini menjadikan institusi penegak hukum, sebaiknya diberi kewenangan yang hampir sama luasnya dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam melihat potensi pelanggaran dalam dana kampanye,” ucapnya.(*)