Kasus Djoko Tjandra
Kasus Djoko Tjandra Libatkan Jenderal, MAKI: Momentum Perubahan di Polri
Perubahan yang dimaksud ialah mengenai pelayanan di kepolisian yang lebih terukur, lebih transparan, serta dapat dipertanggungjawabkan.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan, perkara Djoko Tjandra yang melibatkan dua oknum jenderal bisa menjadi momentum perubahan di tubuh Polri.
Diketahui, Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo terlibat dalam sengkarut suap penghapusan nama terpidana perkara pengalihan hak tagih atau cessie Bank Bali Djoko Tjandra dari daftar red notice Polri.
Perubahan yang dimaksud ialah mengenai pelayanan di kepolisian yang lebih terukur, lebih transparan, serta dapat dipertanggungjawabkan.
Baca juga: Pengakuan Napoleon Terkait Aliran Uang Djoko Tjandra ke Petinggi Kita Tak Tertuang di BAP
"Mudah-mudahan dengan momentum kasus Djoko Tjandra ini bisa melakukan perubahan dan perbaikan di kepolisian," kata Boyamin kepada Tribunnews.com, Selasa (3/11/2020).
Selain itu, Boyamin juga merespons terkait "perebutan" duit suap Djoko Tjandra yang dilakukan oleh Irjen Napoleon dan Brigjen Prasetijo.
Katanya, ia tak menyangka bahwasanya dua jenderal bintang 2 dan bintang 1 itu membantu Djoko Tjandra dalam perkara surat jalan maupun penghapusan red notice.
Baca juga: MAKI Dapati Informasi Hiendra Soenjoto Gunakan Mobil Pelat RFO Selama Buron
"Aku prihatin dalam konteks pembagian uang seperti mementingkan diri sendiri, istilahnya berebut. Jadi, ya, sangat prihatin dalam konteks itu," kata Boyamin.
Sebagaimana diketahui, berebut uang dan tawar-menawar muncul di antara dua jenderal polisi yang menangani urusan Djoko Tjandra.
Total, lebih dari Rp5 miliar dikucurkan Djoko Tjandra kepada Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo.
Baca juga: Dua Jenderal Berebut Duit Suap Djoko Tjandra, Gerindra: Ini Baru Tahap Dakwaan, Proses Masih Panjang
Hal itu terungkap dalam dakwaan jaksa kepada kedua perwira tinggi Polri itu di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada PN Jakarta Pusat, Senin, (2/11/2020).
Limpahan uang kepada dua jenderal tersebut berawal pada April 2020. Saat itu, Djoko Tjandra yang masih buron dan berada di Malaysia, menghubungi Tommy Sumardi dan memintanya untuk mengecek status red notice dirinya.
Permintaan itu dilakukan Djoko Tjandra setelah dia mendapat informasi bahwa red notice atas namanya sudah dibuka oleh Interpol Pusat di Lyon, Perancis.
"Agar niat Djoko Tjandra dapat masuk ke Indonesia, maka ia bersedia memberikan uang Rp10 miliar melalui Tommy Sumardi, untuk diberikan kepada pihak-pihak yang turut mengurus kepentingan Djoko Tjandra masuk ke Indonesia, terutama kepada pejabat di NCB Interpol Indonesia pada Divisi Hubungan Internasional Polri," ucap Jaksa Penuntut Umum (JPU) Erianto saat membacakan dakwaan.
Baca juga: Djoko Tjandra Didakwa Suap 2 Jenderal Polisi Ratusan Ribu Dolar
Tommy bergegas menemui Prasetijo. Oleh Prasetijo, ia dikenalkan kepada Napoleon, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri.
Setelah bertemu dan mengutarakan maksud, Napoleon menyatakan bisa membantu mengurus agar status buron Djoko Tjandra hilang dari sistem Enhanced Cekal System (ECS) pada Sistem Informasi Keimigrasian (SIMKIM) Direktorat Jenderal Imigrasi. Sebagai imbalan, ia meminta Rp3 miliar.
Pada 27 April, Tommy meminta Prasetijo menemaninya menyerahkan uang 100 ribu dolar AS ke Napoleon.
"Saat perjalanan di dalam mobil, Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo melihat uang yang dibawa oleh Tommy Sumardi, kemudian mengatakan 'Banyak banget ini ji buat beliau? Buat gw mana?' dan saat itu uang dibelah dua oleh Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo dengan mengatakan 'Ini buat gw. Nah ini buat beliau sambil menunjukkan uang yang sudah dibagi 2 dua'," tutur Jaksa Erianto.
Mendapat sisa 50 ribu dolar AS, Napoleon menolak mentah-mentah.
"Ini apaan nih segini, enggak mau saya. Naik ji jadi 7 (tujuh) ji soalnya kan buat depan juga bukan buat saya sendiri. Yang nempatin saya kan beliau dan berkata petinggi kita ini," kata Jaksa Erianto menirukan Napoleon.
Keesokannya pada 28 April, Tommy kembali menghadap Napoleon. Ia menyerahkan uang 200 ribu dolar Singapura. Lalu, kembali memberikan uang 100 ribu dolar AS kepada Napoleon pada 29 April.
Setelah menerima uang tersebut, Napoleon memerintahkan anak buahnya, Kombes Tommy Aria Dwianto untuk membuat surat yang ditujukan kepada pihak Imigrasi.
Dalam surat, Napoleon menginformasikan bahwa data DPO Djoko Tjandra yang diajukan sebelumnya, sudah tidak dibutuhkan lagi.
Kemudian, Tommy menyerahkan uang 150 ribu dolar AS pada 4 Mei dan 20 ribu dolar AS pada 5 Mei kepada Napoleon. Status buron Djoko Tjandra pun hilang. Namun, merasa punya andil, Prasetijo menghubungi Tommy. Ia turut meminta jatah.
"Dengan mengatakan, 'Ji, sudah beres tuh, mana nih jatah gw punya' dan dijawab oleh Tommy Sumardi 'Sudah, jangan bicara di telepon, besok saja saya kesana'. Dan keesokan harinya sekira jam 14.00 WIB, Tommy Sumardi bertemu dengan Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo di ruangan kantornya, dan memberikan uang sejumlah 50 ribu dolar AS. Sehingga total uang yang diserahkan oleh Tommy Sumardi kepada Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo adalah berjumlah 150 ribu dolar AS," ucap Jaksa Erianto.
Merespons dakwaan, Napoleon dan Prasetijo menunjukkan sikap yang berbeda.
Napoleon, melalui kuasa hukumnya, Santrawan T Paparang, bakal mengajukan eksepsi atau nota keberatan. Ia menilai, perkara yang menjerat kliennya adalah perkara yang direkayasa.
"Perkara palsu. Catat itu akan kami uraikan seluruhnya di dalam eksepsi," tutur Santrawan usai mendengar dakwaan.
Sementara anak buahnya, Prasetijo, menerima dakwaan dan memutuskan tak mengajukan eksepsi.
"Baik pak, saya serahkan ke penasihat hukum saya. Secara pribadi saya lanjut aja," ucap Prasetijo kepada hakim.
"Terima kasih, yang Mulia. Setelah kami koordinasi, bahwa terdakwa dan tim pengacara tidak ajukan keberatan," ujar Denny Kailimang, kuasa hukum Prasetijo, melanjutkan.
Usai persidangan, Denny menjelaskan bahwa pihaknya lebih memilih untuk bertarung di pemeriksaan saksi.
"Kami tidak mengajukan eksepsi, lebih bagus kami akan bertempur di dalam pemeriksaan saksi nantinya," kata Denny.