Komnas Perempuan Soroti Masih Terjadinya Kekerasan Seksual di Ruang Pendidikan
Kata Komnas Perempuan soal kekerasan seksual di lingkungan pendidikan di Indonesia
TRIBUNNEWS.COM - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memberi apresiasi pada para rektor dan ketua perguruan tinggi negeri/swasta (PTKIN/S).
Apresiasi tersebut berlandaskan pada pelaksanaan Surat Keputusan Dirjen No 5494 Tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam dan rencana penerbitan Permendikbud tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi.
Namun, Komnas Perempuan juga menyampaikan keprihatinannya terkait masih terjadinya kekerasan seksual di lingkungan pendidikan di semua jenjang pendidikan.

Termasuk pendidikan berbasis agama dan hambatan keadilan hingga pemulihan yang masih terjadi terhadap kekerasan seksual.
Hal tersebut disampaikan Kompas Perempuan lewat rilis yang diterima Tribunnews.com, Selasa (27/10/2020).
Dari rilis itu, data pengaduan langsung ke Komnas Perempuan dalam rentang tahun 2015 hingga Agustus 2020 menunjukkan, lingkungan pendidikan bukanlah ruang bebas dari kekerasan.
Tercatat 3 kasus yang diadukan ke Komnas Perempuan pada 2015, 10 kasus tahun 2016, 3 kasus tahun 2017, 10 kasus tahun 2018 dan pada 2019 meningkat menjadi 15 kasus dan 10 kasus sampai Agustus 2020.
Kasus yang diadukan merupakan puncak gunung es.
Sebab kasus-kasus kekerasan di lingkungan pendidikan cenderung tidak diadukan atau dilaporkan.
Alasannya korban merasa malu dan tidak tersedianya mekanisme pengaduan, penanganan dan pemulihan korban.
Dengan adanya pelaporan ini maka sistem penyelenggaraan pendidikan nasional harus serius mencegah dan menangani kekerasan seksual sebagai bagian dari penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.
Kekerasan terjadi di semua jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan usia dini sampai dengan pendidikan tinggi.
Dari 51 kasus yang diadukan, tampak universitas menempati urutan pertama yakni 27 persen.
Pesantren atau pendidikan berbasis Agama Islam menempati urutan kedua atau 19 perseb.
Sedangkan 15 persen terjadi di tingkat SMA/SMK, 7 persen terjadi di tingkat SMP, dan 3 persen masing-masing di TK, SD, SLB.
Sejumlah institusi ini juga berbasis agama.
Kekerasan seksual adalah bentuk kekerasan terbanyak yang diadukan, yaitu mencapai 45 kasus (88 persen), yang terdiri dari rudapaksa, pencabulan dan pelecehan seksual.
Ada juga pengaduan tentang kekerasan fisik, kekerasan psikis dan diskriminasi sebanyak 5 kasus (10 persen).
Di tingkat universitas, modus untuk melakukan kekerasan seksual yakni dengan relasi kuasa antara dosen sebagai pembimbing skripsi atau penelitian terhadap mahasiswi.
Sedangkan di lingkungan pesantren, tindakannya berupa memanipulasi santriwati sehingga terjadi perkawinan antara korban dengan pelaku, atau dengan kata lain terjadi pemaksaan perkawinan.
Ada pula yang dimanipulasi dengan alasan memindahkan ilmu, ancaman akan terkena azab atau tidak akan lulus dan hapalan akan hilang.
Di tingkat SMA/SMK, masih terdapat korban kekerasan seksual dikeluarkan dari sekolah atas perkosaan yang menimpanya.
Pelaku kekerasan terbanyak adalah guru/ustaz (43 persen atau 22 kasus), kepala sekolah (15 persen atau 8 kasus), dosen (10 kasus atau 19 persen), peserta didik lain (11 persen atau 6 kasus), pelatih (4 persen atau 2 kasus) dan pihak lain (5 persen atau 3 kasus).
Para korban yang umumnya peserta didik berada dalam kondisi tidak berdaya (powerless) karena relasi kuasa korban dengan guru/ustaz, dosen, atau kepala sekolah yang dipandang memiliki kuasa otoritas keilmuan dan termasuk tokoh masyarakat.
Hambatan pencegahan, penanganan, dan pemulihan korban kekerasan seksual adalah impunitas terhadap pelaku di lingkungan pendidikan sendiri yang lebih memberikan perlindungan terhadap pelaku demi menjaga nama baik institusi.
Jika korban menempuh penyelesaian pidana, terjadi penundaan berlarut.
Misalnya saja dalam kasus kekerasan seksual di pesantren Jombang yang menimbulkan kelelahan baik bagi korban maupun pendamping, dan menyebabkan korban-korban lain memilih bungkam atas kekerasan seksual yang menimpanya.
Selain itu, karena kekosongan hukum karena lembaga pendidikan belum memiliki Prosedur Standar Operasional untuk Pencegahan, Penanganan dan Pemulihan Korban.
Komnas Perempuan berpendapat kondisi tersebut bertentangan dengan tujuan pembentukan negara Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan sebagai ruang belajar dan ruang aman bagi peserta didik.
Dalam UU tentang Sistem Pendidikan Nasional, penyelenggaraan pendidikan wajib memegang beberapa prinsip, yakni diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Dalam konteks pendidikan untuk perempuan, UU No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) secara khusus mewajibkan negara untuk mengambil semua upaya yang tepat untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam rangka untuk memastikan hak yang sama dengan laki-laki dalam bidang pendidikan, dan terutama untuk menjamin atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan (Pasal 10).
Di antaranya melalui:
(a) penghapusan setiap konsep yang stereotip tentang peranan laki-laki dan perempuan di semua tingkat dan semua bentuk Pendidikan;
(b) mengurangi tingkat putus sekolah bagi perempuan dan menyelenggarakan program-program bagi remaja putri dan perempuan yang meninggalkan sekolah sebelum tamat;
(c) akses terhadap informasi pendidikan tertentu untuk membantu memastikan kesehatan dan kehidupan keluarga yang baik, termasuk informasi serta nasehat bagi keluarga berencana
Untuk pencapaian kesetaraan yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam pendidikan, kekerasan seksual yang dampaknya berbeda antara laki-laki dan perempuan berpotensi menyebabkan perempuan terhenti pendidikannya.
Berdasarkan hal-hal tersebut, Komnas Perempuan merekomendasikan:
1. Kebijakan internal di seluruh jenjang Pendidikan untuk memastikan lingkungan pendidikan sebagai ruang aman atau bebas dari kekerasan dengan membangun mekanisme pencegahan, penanganan dan pemulihan untuk korban kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan sekolah;
2. Kebijakan yang berpihak kepada korban kekerasan seksual atau perempuan dengan kehamilan yang tidak diinginkan untuk tetap dapat menyelesaikan pendidikannya sebagai upaya mencegah anak perempuan putus sekolah;
3. Memberikan respons cepat terkait dengan penanganan kekerasan seksual yang dialami siswi/santriwati untuk membangun kepercayaan terhadap hukum dalam pemenuhan hak atas keadilan untuk korban;
4. Menghukum pelaku setimpal dengan perbuatannya untuk mencegah keberulangan;
5. Mengintegrasikan indikator bebas dari kekerasan dalam menetapkan akreditasi lembaga pendidikan.
(Tribunnews.com)