Minggu, 5 Oktober 2025

Hasil Survei Indikator Politik Indonesia Soal Kerja Jokowi, PSBB hingga Warga yang Susah Cari Makan

Mulai dari masalah pembatasan sosial berskala besar (PSBB), hingga kepuasan terhadap kinerja Presiden Joko Widodo.

Sekretariat Presiden 
Presiden Jokowi 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lembaga survei Indikator Politik Indonesia kembali merilis hasil survei terbarunya bertajuk ”Mitigasi Dampak Covid-19: Tarik-Menarik Kepentingan Ekonomi dan Kesehatan”.

Beragam pendapat masyarakat ditemukan Indikator dalam survei terbarunya itu, mulai dari masalah pembatasan sosial berskala besar (PSBB), hingga kepuasan terhadap kinerja Presiden Joko Widodo.

Terkait PSBB, Direktur Eksekutif Indikator Politik, Burhanuddin Muhtadi, menyebutkan bahwa sebanyak 55 persen masyarakat ingin pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dihentikan.

Baca juga: Jokowi atau Terawan, Mana yang Lebih Dipercaya Publik Soal Penanganan Covid? Berikut Hasil Survei

“Mayoritas masyarakat menganggap PSBB sudah cukup agar ekonomi segera berjalan sebanyak 55 persen,” kata Burhanuddin dalam konferensi pers daring di Jakarta, Minggu (18/10/2020). Burhan menyebut hanya 39 persen responden yang setuju PSBB dilanjutkan.

Sedangkan enam persen responden lainnya mengaku tidak tahu atau tidak menjawab.

Burhan menduga, sebagian masyarakat ingin PSBB dihentikan karena saat dilaksanakan setengah hati seperti yang mereka alami di banyak wilayah, mereka Merasa PSBB bukan sebagai juru selamat satu-satunya terkait kondisi yang mereka adapi sekarang.

Baca juga: Update Covid-19 Global 19 Oktober 2020: Total Infeksi Virus Corona di Seluruh Dunia Tembus 40,2 Juta

”Tafsir saya karena masyarakat merasa pelaksanaan PSBB setengah ati. Ada atau tidak ada PSBB, tidak ada perbedaan jadi lebih baik dihentikan,” ujar dia.

Kondisi tersebut berbeda dibandingkan pada Mei 2020. Ketika itu 50,6 persen responden meminta agar PSBB dilanjutkan dan hanya 43,1 persen menginginkan agar PSBB dihentikan.

Perubahan kembali terjadi pada Juli 2020, responden yang menginginkan agar PSBB dihentikan melonjak menjadi 60,6 persen. Sedangkan hanya 34,7 persen responden menginginkan agar PSBB dilanjutkan.

”Dugaan saya waktu itu masyarakat sekian lama mengalami PSBB cukup ketat kemudian mereka capek atau tidak ada pilihan lain karena tidak ada yang bisa dimakan akhirnya ketika ada pelonggaran PSBB mereka meminta agar PSBB cukup, berhenti di sini, dan ekonomi berjalan itu mayoritas di bulan juli. Berbeda dibanding bulan Mei,” kata dia.

Baca juga: Pemerintah: Ada 123 Mahasiswa Positif Covid-19 Setelah Ikut Demo UU Cipta Kerja

Burhan mengatakan data tersebut bisa menjadi masukan bagi pemerintah untuk menentukan kebijakan selanjutnya. ”Yang penting pemerintah jelas tracing, testing, dan treatmentnya. Yang repot kalau strategi tidak ada, di saat yang sama krisis ekonomi makin keras,” tutur dia.

Survei Indikator Politik Indonesia ini dilakukan dengan menggunakan kontak telepon kepada responden. Sampel sebanyak 1.200 responden dipilih secara acak dari kumpulan sampel acak survei tatap muka langsung yang dilakukan Indikator Politik Indonesia pada rentang Maret 2018 hingga Maret 2020.

Ekonomi Memburuk

Dalam survei yang sama, Burhan menyebut bahwa sebagian besar masyarakat saat ini menilai ekonomi Indonesia mengalami kondisi terburuk dalam 24 tahun terakhir.

Baca juga: Survei Indikator Politik: Kepercayaan Publik Terhadap TNI Tertinggi, DPR Paling Rendah

Dalam survei terdahulu, hanya 24,1 persen responden yang menilai ekonomi nasional dalam kondisi buruk. Namun setelah pandemi menerjang Indonesia pada Maret 2020 lalu, sebagian besar masyarakat menyebutkan ekonomi sedang sangat sulit.

Perinciannya pada Mei 2020 Indikator mencatat sebanyak 81 persen responden menilai ekonomi sulit.

Selanjutnya pada Juli 2020 lalu sebanyak 69,2 persen respon menilai ekonomi sedang sulit, dan setelah beragam terobosan pemerintah, sebanyak 65,3 persen responden menilai bahwa ekonomi Indonesia masih dalam fase sangat sulit.

”Mayoritas responden (lebih dari 50 persen) masih menilai (ekonomi) gelap gulita. Namun trennya lebih baik dari Mei (2020),” kata Burhanuddin.

Indikator juga mencatat kondisi ekonomi yang buruk tercermin dari semua lapisan masyarakat baik dikelompokkan berdasarkan usia, tingkat pendidikan hingga gender.

Sejalan dengan memburuknya ekonomi, survei ini juga mencatat ekonomi rumah tangga juga dirasakan sangat sulit.

Indikator mencatat, akibat kondisi ini sebanyak 55 persen responden melaporkan mereka menjadi kesulitan makan.

Lainnya mengalami kesulitan membayar biaya sekolah (12,3 persen), kesulitan membeli kuota internet untuk sekolah (11,5), kesulitan mencicil rumah (2,9 persen) hingga kehilangan pekerjaan (11,9 persen).

Sedangkan jika dilihat berdasarkan tingkat pendidikan beban terbesar memburuknya ekonomi diderita masyarakat dengan pendidikan SLTP dan SD.

Dua kelompok masyarakat ini menyebutkan ekonomi mereka semakin sulit lebih dari 70 persen. Perinciannya dengan latar pendidikan SD sebanyak 72,4 persen, dan SLTP sebanyak 76,2 persen.

Sedangkan masyarakat dengan latar pendidikan SLTA mengalami kesulitan ekonomi di rumah tangganya sebanyak 66,9 persen responden.

Adapun masyakarakat dengan latar pendidikan kuliah ke atas hanya 38 persen yang menyebutkan perlambatan pendapatan. ”Lebih dari separo warga yang ekonomi turun menyebutkan makan saja susah,” katanya.

Kepercayaan Publik

Hal lain yang diungkapkan Burhanuddin adalah terkait kepuasan terhadap Presiden Joko Widodo dan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dalam menangani pandemi Covid-19.

Hasilnya, masyarakat cukup percaya Presiden Jokowi 57,7 persen dan sangat percaya 3,0 persen. Sementara terhadap Menkes Terawan yang mengaku cukup percaya 44,6 persen, dan yang sangat percaya hanya 1,0 persen.

"Ditanya kepada warga dari Sabang-Merauke dari Miangas sampai pulau Rote, yang puas terhadap Pak Terawan masih di 'cukup percaya' di 45 persen. Meskipun lebih rendah ketimbang presiden," kata Burhan.

Sementara secara kepemimpinan, kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Jokowi per bulan September 2020 hasilnya secara umum masih puas yaitu 68 persen. "Apakah masyarakat luas tak puas terhadap kinerja Presiden? Cukup puas 66 persen dan sangat puas 2,4 persen."

Dalam poin itu, mereka yang mengaku tak puas sama sekali sebesar 2,4 persen dan yang mengaku kurang puas 26,4 persen.

Sementara yang tidak menjawab 2,8 persen. Burhan menyebut tren kepuasan terhadap kinerja Presiden Jokowi tahun ini cenderung stagnan. "Sekian tahun terakhir flat di angka 60-an persen.

Bahkan, pandemi (Covid-19) tidak mampu menurunkan kepuasan terhadap kinerja Presiden," kata Burhan.

Dari grafik yang dipaparkan Burhan, terlihat pada bulan Februari, Mei, dan Juli, persentase kepuasan kinerja Jokowi berturut-turut yakni 69,5 persen, 66,5 persen, dan 65,2 persen.

Burhan kemudian membandingkan tingkat kepuasan kinerja Jokowi dengan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, meskipun tak menyebutkan sumbernya.

"Saya dapat datanya, Duterte itu yang puas 91 persen. Memang tidak setinggi Duterte, tapi yang menarik Presiden Jokowi tidak mengalami penurunan kepuasan meskipun masyarakat mengalami pandemi," lanjutnya.

Jika ditarik sejak Jokowi menjabat pada periode pertama, Indikator mencatat kepuasan terendah terhadap kinerja Jokowi terjadi pada Juni 2015, yakni sebesar 40,7 persen.

Sementara, untuk persentase kepuasan tertinggi kinerja Jokowi sejak periode pertama, menurut data Indikator, yaitu pada September 2018 dengan angka 72,4 persen.(tribun
network/den/dod)

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved