Awal Mula Hasto Kristiyanto Mantap Jadi Politisi PDI-P, Otoriternya Orba dan Terharu Orasi Megawati
Hasto menjelaskan, semenjak menyaksikan orasi Megawati itulah dirinya mantap untuk terjun ke dunia politik.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekretaris Jenderal Partai Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto membagikan cerita terkait alasannya terjun ke dunia politik sebagai kader Banteng Merah.
Hasto sejauh ini telah menjabat sebagai Sekjen PDI-P selama dua periode.
Pertama kali Hasto menjabat Sekjen PDI-P pada tahun 2014.
Saat itu Hasto menjadi Sekjen PDI-P menggantikan Tjahjo Kumolo yang didapuk menjadi Menteri Dalam Negeri di kabinet kerja kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) periode pertama.
Sosok kelahiran Yogyakarta 7 Juli 1966 itu memang tertarik pada dunia politik sejak bersekolah di SMA Kolose de Britto.
Hasto muda menghabiskan sebagian besar waktunya membaca berbagai buku tentang politik.
Setelah lulus SMA, Hasto melanjutkan studinya ke Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM).
"Saya ini sebenarnya latar belakang keluarganya bukan politisi, dari keluarga biasa, common people. Latar belakang saya Insinyur Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada (UGM)," ucap Hasto saat wawancara eksklusif di Markas Tribun Network, Jakarta, Selasa (13/10/2020).
Hasto menceritakan, pada tahun 1987, dirinya merasakan satu pengalaman spiritual yang mendorongnya untuk berpolitik.
Baca juga: Hasto: Perlu diluruskan, Jangan Sampai Ada Analogi Pilkada Perang Hidup Mati
Pengalaman spiritual itu berkaitan dengan iklim perpolitikan selama masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.
Hasto yang pada 1987 menjabat Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Teknik UGM mengaku merasakan kerasnya sistem pemerintahan yang otoriter pada masa Orde Baru.
Di mana mahasiswa dan rakyat, bila berdemo atau menyalurkan aspirasi terkait produk undang-undang akan hilang secara tiba-tiba.
Bahkan mereka yang berdemo pada masa itu sudah pasti dihadapkan pada senapan pasukan bersenjata.
"Dulu itu kalau ada yang demo sudah diambil, orang tuanya kena sanksi, bahkan rakyat dihadapkan pada senapan. Padahal undang-undangnya bagus pada saat itu," ucap dia.
Pada tahun yang sama, yakni 1987, Hasto mengikuti sebuah kampanye di alun-alun Utara Malioboro, Yogyakarta, Jawa Tengah.
