Virus Corona
Mahfud MD Bela Polri soal Langkah Preventif dan Penegakan Disiplin
Mahfud menilai tidak ada yang salah dari kebijakan PSBB total. Hanya saja, pengumuman rem darurat tersebut memberi semacam efek kejut.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Koordiantor Politik, Hukum dan HAM (Menko Polhukam) Mahfud MD ikut berbicara terkait dengan langkah penegakan displin bagi masyarakat yang akan dilakukan Polri.
Ia pun ikut meluruskan dan membela Polri soal rencana yang disalahpahami sebagaian orang terkait dengan pelibatan "preman" dalam penegakaan displin.
"Preman itu bukan penjahat. Preman itu bahasa Belandanya, Vrijemen, orang yang bukan pejabat pemerintah. Tapi itu komentar di media sosial dikatakan pantas polisi kayak preman. Padahal bahasa Belanda itu orang yang tidak bekerja di kantor pemerintah. Lalu sekarang diartikan penjahat, yang suka meras. Padahal preman itu Vrijemen, yang gak punya baju dinas," kata Mahfud.
Hal ini disampaikan Mahfud dalam webinar nasional bertemakan "Evaluasi 6 Bulan dan Proyeksi 1 Tahun Penanganan Covid-19 di Indonesia," Sabtu (12/9/2020) malam.
Webinar ini dilaksanakan oleh Kelompok Studi Demokrasi Indonesia (KSDI) dan dihadiri 700-an partsipasan.

Hadir dalam webinar ini berbagai latarbelakang dan profesi. Ada kepala daerah, aktivis, pengusaha, pengacara, artis dan selebiritis, media, musisi, politisi, pegiat seni dan kebudayaan, akademisi dari berbagai kampus, guru dari berbagai sekolah, dan mahasiswa di berbagai daerah dan lain-lain.
Selain Komjen, hadir sebagai narasumber Menko Polhukam Mahfud MD, Direktur Eksekutif Indobarometer Muhammad Qodari dan ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri.
Webinar dimoderatori oleh Maruarar Sirait.
Dalam hal pelibatan kelompok yang bukan bagi pejabat pemerintah dalam langkah preventif, sambung Mahfud, itu juga merupakan imbauan Presiden di sidang kabinet agar kampanye preventif efektif, seperti juga harus dilakukan ibu-ibu PKK sehingga sampai ke tingkat desa.
Dalam kesempatan ini, Mahfud MD pun mendapat pertanyaan dari belasan partisipan.
Salah satu yang dipersilakan menyampaikan pertanyaan langsung adalah Pimred Suara Pembaruan Primus Dorimulu, Dirut Auto 2000 yang juga Ketua Alumni FH Unpar Ivan Sadik, musisi sekaligus dokter Tompi, Wasekjen INTI Candra Jap dan Direktur Deep Indonesia Neni Nurhayati
Mahfud menjelaskan bahwa Menko itu hanya bisa mengsinkronkan, mengkoordinasikan dan mengendalikan, bukan menteri teknis yang bisa lengaung melalukan terobosan dalam penanganan Covid-19. Kalau pun ada terobosan, maka terobosan bidang koordinasi.

Menjawab soal pertanyaan dan usul agar Pilkada 2020 kembali ditunda karena kian tingginya angka penyebaran COVID-19, Mahfud mengatakan bahwa penundaan Pilkada 2020 sulit diwujudkan karena berbagai alasan.
"Kalau ditunda itu prosedurnya kalau mau ubah UU dalam waktu dekat itu nggak mungkin, sudah kurang dari 2-3 bulan, itu harus masuk Prolegnas, itu hanya bisa dengan Perppu, Perppu tergantung KPU mau usulkan nggak," kata Mahfud.
Mahfud menilai, usulan soal Pilkada Serentak kembali ditunda sulit diwujudkan karena perubahan UU membutuhkan waktu. Selain itu, penerbitan Perppu juga perlu persetujuan DPR dan belum tentu disetujui.
"Kemarin kan KPU dan DPR sepakat tunda, lalu presiden keluarkan Perppu-nya sehingga ketika dibahas lagi di DPR selesai, tidak ribut. Kalau presiden mengeluarkan sepihak juga kalau DPR menolak celaka itu, sudah telanjur batal, ditolak," ungkap Mahfud.
Mahfud juga menjawab soal Perppu Corona yang disebut terlalu berorientasi pada ekonomi ketimbang kesehatan.
Kata Mahfud, Perppu itu merupakan dasar hukum dalam mengeluarkan dana untuk penanganan COVID-19.
"Pemerintah pada waktu itu menghitung perlunya uang itu sudah di awal-awal Maret itu, perlunya uang tidak kurang dari Rp 600 triliun untuk menghadapi COVID ini itu maksudnya untuk COVID tapi kan kontroversinya yang muncul, dan itu tidak bisa dikeluarkan tanpa ada dasar hukum karena di APBN tidak ada," jelas Mahfud.
Lanjut Mahfud, Perppu Corona menjadi dasar hukum untuk menganggarkan dana sehingga pengeluaran uang dalam jumlah besar tersebut tidak dianggap sebagai tindak pidana korupsi.

Mahfud juga bicara soal Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang mengumumkan PSBB kembali ke tahap awal. Mahfud menilai tidak ada yang salah dari pengumuman tersebut dan itu hanya sekadar tata kata.
"Sebenarnya cuma kata istilah PSBB total seakan-akan baru dan secara ekonomi mengejutkan. Menurut para ahli, kemarin itu hanya beberapa jam pagi-pagi jam 11.00 negara sudah rugi Rp 300 triliun atau Rp 297 triliun hanya sebentar karena pengumuman itu, padahal sebenarnya itu kan perubahan kebijakan, wong sebelumnya juga PSBB mengatakan bioskop akan dibuka, tempat hiburan, dan lain-lain kan hanya seperti itu, cuma ini karena ini tata kata, bukan tata negara," kata Mahfud
Mahfud menilai tidak ada yang salah dari kebijakan PSBB total. Hanya saja, pengumuman rem darurat tersebut memberi semacam efek kejut.
"Di Jakarta itu memang sedang PSBB, pemerintah tahu Jakarta harus PSBB dan tidak pernah dicabut. PSBB itu sudah dilakukan. Yang sekarang salah itu di Jakarta bukan PSBB-nya tapi tadi yang dikatakan Pak (Muhammad) Qodari rem daruratnya, tapi tetap PSBB," ujar Mahfud.