Lewat Direktur Waskita Beton Precast, KPK Dalami Aliran Duit Korupsi ke Desi Arryani
Desi adalah tersangka dalam kasus dugaan korupsi pelaksanaan pekerjaan subkontraktor fiktif pada proyek-proyek yang dikerjakan PT Waskita Karya
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berusaha mendalami duit korupsi yang mengalir ke mantan Kepala Divisi III/Sipil/II PT Waskita Karya yang juga mantan Dirut PT Jasa Marga Desi Arryani (DSA).
Desi adalah tersangka dalam kasus dugaan korupsi pelaksanaan pekerjaan subkontraktor fiktif pada proyek-proyek yang dikerjakan PT Waskita Karya (Persero).
Penelusuran dilakukan dengan memeriksa Direktur PT Waskita Beton Precast, Antonius Yulianto Tyas Nugroho serta 13 saksi lainnya.
Mereka di antaranya ialah, SVP Accounting Waskita Karya, Inggir Elerida Lumbantoruan; Kepala Kantor Cabang Riau, Tri Hartanto; Kabag SDM Waskita, Raden Bambang Widhyantoro; Kasie Keuangan Proyek Padamaran, Joni Putra; Ketua Koperasi Waskita, Ari Wibowo; Staf Admin, Agus Winarno.
Baca: KPK Periksa 14 Pegawai Waskita Karya dari Berbagai Divisi Usut Korupsi Proyek Fiktif
Kemudian, mantan Kepala Proyek dan Kepala Bagian Pengendalian pada Divisi III/Sipil/II PT Waskita Karya, Fakih Usman; Kabag Dal Sipil, Mohamad Indrayana; DirKeu Waskita Toll Road, Rudi Purnomo; Manager Human Capital Waskita, Riftan Wisesa; Staf Bagian Keuangan, Tri Yuharlina; mantan Auditpr PT Waskita, M Noor Utomo; serta Kapro Proyek Benoa 4, Ir Julizar Kurniawan.
"Penyidik mendalami pengetahuan para saksi tersebut terkait dengan dugaan penerimaan sejumlah uang dan beberapa aset yang dinikmati oleh tersangka DSA dkk dan juga pihak-pihak lainnya," ungkap Plt Juru Bicara Penindakan KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Kamis (10/9/2020).
KPK belakangan ini nampak sering mengusut dan mengembangkan kasus dugaan korupsi yang ditaksir merugikan keuangan negara lebih dari Rp200 miliar tersebut.
Baca: KPK Periksa Mantan Direktur Keuangan Waskita Karya di Korupsi Subkontraktor Fiktif
Tak tertutup kemungkinan dari pengembangan kasus ini, KPK menjerat Waskita Karya sebagai tersangka sepanjang ditemukan bukti permulaan yang cukup.
"Dalam penyidikan KPK saat ini apabila ditemukan alat bukti adanya dugaan perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi maka tidak menutup kemungkinan akan ditindaklanjuti," kata Ali.
Meski demikian, Ali mengatakan, tim penyidik saat ini fokus menuntaskan penyidikan lima orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Selain Desi, empat tersangka lainnya kasus ini, yakni Dirut PT Waskita Beton Precast, Jarot Subana; Wakil Kadiv II PT Waskita Karya, Fakih Usman, Kepala Divisi II PT Waskita Karya, Fathor Rachman; serta Kepala Bagian Keuangan dan Risiko Divisi II PT Waskita Karya, Yuly Ariandi Siregar.
Saat kasus korupsi ini terjadi, Jarot Subana merupakan Kepala Bagian Pengendalian pada Divisi III/Sipil/II PT Waskita Karya, sementara Fakih Usman sebagai Kepala Proyek dan Kepala Bagian Pengendalian pada Divisi III/Sipil/II PT Waskita Karya.
"Saat ini KPK masih fokus kepada proses penyidikan yang sedang berjalan dengan tersangka yang ada saat ini," katanya.
Penetapan tersangka terhadap korporasi bukan hal baru bagi KPK.
Baca: KPK Perpanjang Masa Penahanan Mantan Dirut Waskita Beton Precast Jarot Subana
Sejauh ini tercatat KPK telah menetapkan lima korporasi sebagai tersangka kasus korupsi dan satu korporasi sebagai tersangka pencucian uang.
Jerat pidana terhadap korporasi memungkinkan setelah terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi.
Dalam SEMA itu disebutkan Hakim dapat menilai kesalahan korporasi antara lain korporasi mendapat keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan korporasi; korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.
Sementara dalam konstruksi perkara dugaan korupsi pelaksanaan pekerjaan subkontraktor fiktif di Waskita Karya yang dipaparkan KPK, kasus tersebut bermula dari keputusan Desi Arryani pada 2009 atau saat menjabat sebagai Kepala Divisi III/Sipil/II PT Waskita Karya (Persero) Tbk untuk menyepakati pengambilan dana dari perusahaan BUMN tersebut melalui pekerjaan subkontraktor yang diduga fiktif pada proyek-proyek yang dikerjakan oleh Divisi III/Sipil/II.
Dalam rangka melaksanakan keputusannya tersebut, Desi kemudian memimpin rapat koordinasi internal terkait penentuan subkontraktor, besaran dana dan lingkup pekerjaannya.
Selanjutnya, kelima tersangka melengkapi dan menandatangani dokumen kontrak dan dokumen pencairan dana terkait dengan pekerjaan subkontraktor yang diduga fiktif tersebut.
Kemudian pada tahun 2011, Desi mendapatkan promosi menjadi Direktur Operasional PT Waskita Karya (Persero) Tbk Fathor Rachman juga dipromosikan menjadi Kepala Divisi III/Sipil/II menggantikan Desi.
Atas permintaan dan sepengetahuan dari kelima tersangka, kegiatan pengambilan dana milik PT Waskita Karya melalui pekerjaan subkontraktor yang diduga fiktif tersebut, dilanjutkan, dan baru berhenti pada tahun 2015.
Seluruh dana yang terkumpul dari pembayaran terhadap pekerjaan subkontraktor yang diduga fiktif tersebut selanjutnya digunakan oleh pejabat dan staf pada Divisi III/Sipil/II PT Waskita Karya (Persero) untuk membiayai pengeluaran di luar anggaran resmi PT Waskita Karya (Persero), seperti pembelian peralatan yang tidak tercatat sebagai aset perusahaan, pembelian valuta asing, pembayaran biaya operasional bagian pemasaran, pemberian fee kepada pemilik pekerjaan (bowheer) dan subkontraktor yang dipakai, pembayaran denda pajak perusahaan subkontraktor, serta penggunaan lain oleh pejabat dan staf Divisi III/Sipil/II.
Selama periode 2009-2015, setidaknya ada 41 kontrak pekerjaan subkontraktor fiktif pada 14 proyek yang dikerjakan oleh Divisi III/Sipil/II PT Waskita Karya (Persero) Tbk.
Sebanyak 14 proyek itu, antara lain proyek Normalisasi Kali Bekasi Hilir, Bekasi, Jawa Barat, proyek Banjir Kanal Timur (BKT) Paket 22, Jakarta, proyek Bandara Kualanamu, Sumatera Utara, proyek Bendungan Jati Gede, Sumedang, Jawa Barat, proyek Normalisasi Kali Pesanggrahan Paket 1, Jakarta, proyek PLTA Genyem, Papua, dan proyek Tol Cinere-Jagorawi (Cijago) Seksi 1, Jawa Barat.
Selanjutnya, proyek "fly over" Tubagus Angke, Jakarta, proyek "fly over" Merak-Balaraja, Banten, proyek Jalan Layang Non Tol Antasari-Blok M (Paket Lapangan Mabak), Jakarta, proyek Jakarta Outer Ring Road (JORR) seksi W 1, Jakarta, proyek Tol Nusa Dua-Ngurah Rai-Benoa Paket 2, Bali, proyek Tol Nusa Dua-Ngurah Rai-Benoa Paket 4, Bali, proyek Jembatan Aji Tulur-Jejangkat, Kutai Barat, Kalimantan Timur.
Sedangkan perusahaan subkontraktor yang digunakan untuk melakukan pekerjaan fiktif tersebut adalah PT Safa Sejahtera Abadi, CV Dwiyasa Tri Mandiri, PT MER Engineering dan PT Aryana Sejahtera.
Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif dalam Rangka Penghitungan Kerugian Keuangan Negara dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) total kerugian keuangan negara yang timbul dari kegiatan pelaksanaan pekerjaan subkontraktor yang diduga fiktif tersebut sekira Rp202 miliar.