Sabtu, 4 Oktober 2025

Pemerintah Bayar Influencer hingga Rp 90 Miliar untuk Sosialisasikan Program, ICW Tanya Peran Humas

Atas temuan ini, Egi Primayoga dari ICW mempertanyakan peran kehumasan pemerintah. "Jadi tidak berguna fungsi kehumasan."

Editor: Hasanudin Aco
Tribunnews/Dea Duta Aulia
Foto ilustrasi 

Egi menyebut penggunaan influencer oleh pemerintah nantinya akan semakin marak dan dengan anggaran yang jauh lebih besar. Namun di balik penggunaan para influencer tersebut, ia menilai pemerintah seakan tidak yakin dengan kebijakan yang dikeluarkan.

"Bahwa Jokowi tidak percaya diri dengan program-programnya sehingga harus menggelontorkan anggaran untuk influencer."

"Selain tidak percaya diri, peran kehumasan pemerintah ke mana kalau influencer makin marak seperti ini? Jadi tidak berguna fungsi kehumasan."

"Tidak menutup kemungkinan anggarannya akan lebih besar.""

Tapi lebih dari itu, menurut Egi, transparansi dan akuntabilitas anggaran dalam penggunaan influencer sangat lemah. Sebab tak ada tolok ukur yang dipakai ketika menentukan atau memilih seorang pemengaruh dalam menyosialisasikan kebijakan.

"Kebijakan yang menggunakan influencer apa saja? Termasuk influencer diberi disclaimer bahwa ini aktivitas berbayar atau didukung pemerintah dalam publikasi postingannya."

"Lalu bagaimana pemerintah menentukan suatu isu butuh influencer? Bagaimana pemerintah menentukan individu yang layak menjadi influencer? Karena ini terkait akuntabilitas."

Sisi gelap teknologi dan media sosial bagi demokrasi

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLHBI), Asfinawati, mengatakan penggunaan teknologi atau media sosial dalam demokrasi sesungguhnya bisa berdampak positif dalam demokrasi.

Sebab publik atau rakyat bisa menyampaikan langsung aspirasinya tanpa hambatan.

"Teknologi membuat pemerintah lebih responsif. Misal pengaduan bisa secara langsung atau bercakap-cakap secara langsung melalui akun menteri atau presiden," ujar Asfinawati dalam diskusi online.

"Menjadi lebih akuntabel dan transparan karena semua hal bisa diunggah. Misalnya rancangan APBN, peraturan daerah. Kalau dulu berbelit-belit sekarang bisa lebih cepat diakses," sambungnya.

Namun begitu, kata Asfi, ada sisi gelap dari penggunaan teknologi apalagi ketika disusupi influencer atau buzzer. Sebab, baginya, mereka "bersuara atas pesanan".

"Publik tidak lagi bisa membedakan mana pendapat pribadi dan mana yang iklan. Berbeda dengan televisi atau radio, jelas kita bisa tahu mana yang berita dan iklan."

Halaman
123
Sumber: BBC Indonesia
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved