Minggu, 5 Oktober 2025

Imparsial Tanggapi Penjelasan Danjen Kopassus Soal Sejarah Pelibatan TNI Atasi Aksi Terorisme

Senada dengan Cantiasa, menurut Ghufron pelibatan TNI dalam mengatasi sejumlah aksi terorisme bukanlah hal yang baru.

Penulis: Gita Irawan
Penerangan Kopassus
Danjen Kopassus Mayjen TNI I Nyoman Cantiasa, menutup secara resmi pendidikan komando angkatan 103. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Direktur Imparsial Ghufron Mabruri merespons penjelasan Komandan Jenderal Kopassus Mayjen TNI I Nyoman Cantiasa terkait sejarah panjang pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme.

Senada dengan Cantiasa, menurut Ghufron pelibatan TNI dalam mengatasi sejumlah aksi terorisme bukanlah hal yang baru.

Meski begitu, kata Ghufron, penting juga diingat pelibatan itu harus dilakukan dalam situasi ketika institusi fungsional (Kepolisian) tidak bisa lagi menangani aksi tersebut misalnya karena kemampuan institusi tersebut terbatas.

Baca: Jokowi dan Prabowo Naikkan Tunjangan Kinerja TNI Sebesar 80 %, KSAD Bisa Terima Tukin Rp 68 Juta

Ghufron mencontohkan dalam hal ini aksi pembajakan pesawat atau kapal.

"Artinya, pelibatan itu hanya pada saat ketika keadaan 'khusus' dan ruang lingkupnya terbatas hanya pada penindakan," kata Ghufron ketika dihubungi Tribunnews.com pada Jumat (21/8/2020).

Menurutnya justru penjelasan Cantiasa tentang sejarah pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme tersebut mengkonfirmasi bahwa TNI tidak butuh Perpres Pelibatan TNI.

"Pernyataan Danjen Kopassus tentang sejarah pelibatan TNI dalam menangani aksi terorisme justru mengkonfirmasi bahwa TNI tidak butuh Perpres pelibatan TNI. Apalagi payung hukumnya sejatinya sudah ada di Undang-Undang TNI," kata Ghufron.

Baca: Danjen Kopassus Beberkan Sejarah Panjang Pelibatan TNI dalam Menangani Aksi Terorisme

Oleh sebab itu Ghufron tidak sependapat dengan pernyataan Cantiasa yang mengatakan prajurit yang dilibatkan dalam mengatasi aksi terorisme membutuhkan payung hukum berupa Peraturan Presiden sebagaimana Rancangan Peraturan Presiden yang hingga kini masih menjadi diskusi hangat di masyarakat.

Menurut Ghufron tanpa ada Peraturan Presiden terkait pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme tersebut TNI bisa dilibatkan dengan payung hukum pasal 7 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Dalam pasal tersebut dinyatakan mengatasi aksi terorisme merupakan tugas pokok TNI dalam Operasi Militer Selain Perang yang pelaksanaannya dilakukan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara dalam hal ini Presiden dan DPR.

Dengan dasar Undang-Undang yang telah ada itulah, kata Ghufron, TNI bisa dilibatkan dalam penanganan aksi terorisme yang tidak bisa ditangani Kepolisian.

"Jika ada yang mengatakan bahwa tidak ada payung hukum bagi pelibatan TNI maka pandangan tersebut jelas salah dan keliru," kata Ghufron.

Baca: Danjen Kopassus Ungkap Sadisnya Kelompok Teroris MIT Pimpinan Ali Kalora

Diberitakan sebelumnya Komandan Jenderal Kopassus Mayjen TNI I Nyoman Cantiasa membeberkan sejarah panjang keterlibatan TNI dalam menangani aksi terorisme di Indonesia.

Cantiasa mengatakan prajurit TNI telah dilibatkan dalam mengatasi aksi terorisme di Indonesia sejak operasi pembebasan sandera Pesawat Garuda DC-9 “Woyla” pada 1981 di Bandara Don Muang Bangkok Thailand.

Selanjutnya adalah operasi pembebasan tim ekspedisi Lorentz 95 yang disanderan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Mapenduma Papua pada 1996.

"Kemudian operasi pembebasan tim Lorentz yang ada di Irian Jaya. Juga sama, bagaimana TNI dilibatkan dalam operasi pembebasan sandera. Dan kebetulan saya juga ikut terjun langsung di sana ada saat itu, saya masih Letnan Satu," kata Cantiasa dalam tayangan Podcast Puspen TNI yang diunggah di kanal Youtube resmi Puspen TNI pada Senin (17/8/2020).

Selain itu ia juga menceritakan operasi pembebasan sandera ABK kapal MV Sinar Kudus yang dibajak pada 2011 di Perairan Somalia.

Cantiasa mengatakan ia yang saat itu menjabat sebagai Komandan Satuan Penanggulangan Teror (Satgultor 81) Kopassus turut terlibat dalam merancang operasi tersebut.

Saat itu, kata dia, timnya melaksanakan operasi bersama pasukan elit TNI AL yakni Detasemen Jalamangkara.

Menurutnya operasi tersebut adalah operasi yang punya tingkat kesulitan sangat tinggi.

"Pada saat itu saya ikut terlibat merancang bersama Komandan Detasemen Jalamangkara menyiapkan pasukan untuk melaksanakan tugas-tugas ke Somalia. Pada saat itu saya rasakan operasi kita harus rahasia. Memang pada saat itu Pak Presiden memerintahkan kepada Danjen Kopassus yang pada saat itu Bapak Mayjen Lodewick Paulus, kemudian kepada saya Komandan Satuan Antiteror bahwa operasi ini tidak boleh keluar ke mana-mana beritanya. Jadi yang tahu melaksanakan operasi pembebasan hanya kamu dan saya (Presiden)," ungkap Cantiasa.

Selain itu, kata Cantiasa, TNI juga dilibatkan dalam operasi Tinombala di Poso sejak 2016 hingga saat ini.

"Kemudian yang ada di Kampung Banti Tembagapura juga sempat kejadian 2017 pada saat itu, itu ada masyarakat Papua di sana sempat di sandera sehingga TNI harus dilibatkan untuk melaksanakan tugas," kata Cantiasa.

Oleh karena itu, kata Cantiasa, TNI perlu dilibatkan dalam penanganan aksi terorisme.

Terlebih, kata dia, hal itu merupakan perintah Undang-Undang nomor 5 tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme khususnya dalam pasal 43 I.

"Disampaikan di sana dalam pasal 43 I ayat 1 bahwa peran TNI adalah melaksanakan operasi militer selain perang. Kemudian di ayat 3-nya disampaikan, dalam mengatasi aksi terorisme ini itu dijabarkan dalam peraturan presiden yang saat ini sedang digodok oleh Kemenko Polhukam dan sudah masuk ke DPR. Mudah-mudahan menjadi payung hukum untuk TNI," kata Cantiasa.

Ia pun meminta dukungan dari semua elemen bangsa terkait Rancangan Perpres tersebut agar TNI dapat membantu melakukan tugas-tugas penanggulangan terorisme di wilayah-wilayah yang tingkat kesulitannya sangat tinggi.

"Kalau memang Kepolisian tidak mampu untuk melakukan tugas-tugas sampai wilayah-wilayah atau daerah-daerah yang ekstrim, ya mereka minta perbantuan, kita dukung, setelah itu kita serahkan kepada polisi. Jadi sebenarnya tidak masalah," kata Cantiasa.

Ia menegaskan selama ini Kopassus sebagai pasukan yang selama ini kerap ditugaskan dalam aksi-aksi penanggulangan teror membutuhkan payung hukum dalam menjalankan operasinya.

Jangan sampai, kata Cantiasa, ada satuan yang nemiliki kemampuan untuk mengatasi penanggulangan aksi teror tapi tidak punya kewenangan dalam menjalankan tugas tersebut.

"Jadi kami Kopassus ini dilahirkan, dibesarkan, dididik, dibiayai oleh negara, tugas kita sudah jelas. Kami butuh paying hukum itu saja. Jangan sampai begini, ada satuan punya kemampuan tapi tidak punya kewenangan, kapanpun kami dibutuhkan oleh negara ini sesuai dengan peraturan yang ada, sesuai dengan ketentuan undang-undang yang ada, kami siap," kata Cantiasa.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved