Di Tengah Pandemi, Penanganan Karhutla Harus Fokus pada Mitigasi
Pada 2020 bahaya karhutla kembali mengancam dan kali ini datang bersamaan dengan pandemi Covid-19.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pada 2020 bahaya karhutla kembali mengancam dan kali ini datang bersamaan dengan pandemi Covid-19.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melihat bahaya tersebut mengancam para lansia dan penderita komorbid (hipertensi, diabetes, jantung, dan penyakit paru seperti Infeksi Saluran Pernapasan Atas atau ISPA).
“Menghadapi karhutla tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya karena kita menghadapi pandemi Covid-19 juga,” kata Kepala BNPB Doni Monardo dalam Katadata Forum Virtual Series "Ancaman Karhutla dan Covid-19 di Masa Pandemi", Kamis (13/8/2020).
Baca: Mendagri Tito Karnavian Tegur Wali Kota Idris Terkait Rendahnya Rasio Tes Covid-19 di Kota Depok
Oleh karenanya, kata dia, perlu ada upaya lebih serius dan lebih optimal untuk menyampaikan ke seluruh lapisan masyarakat.
“Jangan ada yang membiarkan terjadinya kebakaran,” ujarnya menegaskan.
Doni menjelaskan, fokus BNPB tahun ini akan lebih banyak turun langsung ke unsur-unsur masyarakat untuk mencegah terjadinya karhutla.
“Pencegahan merupakan langkah terbaik,” katanya.
Merujuk Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan, Doni menjabarkan ada tiga langkah preventif yang akan didorong seperti mengembalikan kodrat gambut yang basah, mengubah perilaku masyarakat, dan membentuk satgas di setiap daerah.
Baca: TMC Tahap II Cegah Karhutla di Riau
Senada dengan komitmen BNPB untuk memperkuat langkah mitigasi karhutla, Yayasan Madani Berkelanjutan mengambil inisiatif untuk melakukan analisis mengenai pemetaan Area Rawan Terbakar (ART) dan Area Potensi Terbakar (APT).
Data yang dikumpulkan dan diolah ini kemudian disilangkan dengan data Indeks Kewaspadaan Provinsi (IKP) dari Kawal Covid-19 untuk memetakan besaran ancaman karhutla dan Covid-19 di berbagai daerah.
“Serangan ganda Karhutla dan Covid-19 ini telah nyata di depan mata,” ujar Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Muhammad Teguh Surya dalam kesempatan yang sama.
Menurut Teguh, perlu ada kerja sama dan komitmen yang serius dari semua pihak, seperti pemerintah, swasta, masyarakat serta penggiat lingkungan dalam mencegah berulangnya kejadian karhutla, baik pada tahun ini maupun tahun mendatang.
Senada dengan BNPB, Teguh juga menekankan agar penanganan karhutla tidak hanya fokus di penanggulangan dan pemadaman api, tapi lebih pencegahan.
“Perlu upaya untuk menghentikan bencana karhutla dengan berfokus pada upaya pemullihan lahan gambut dan menghentikan pengrusakan hutan,” kata Teguh menambahkan.
Adapun temuan Madani mendapatkan empat provinsi dengan tingkat potensi terbakar paling luas, yakni Riau, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, dan Sumatera Utara.
Setiap provinsi juga diwakilkan setidaknya tiga kabupaten/kota dengan luas area potensi terbakar antara 169 hektare (Kabupaten Karimun) sampai 6.152 hektare (Kabupaten Natuna).
Madani juga menemukan provinsi dengan kerentanan karhutla tertinggi tahun ini, yang juga memiliki kewaspadaan Covid-19 tinggi.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P3ML) Wiendra Waworuntu yang turut hadir dalam diskusi menerangkan di masa karhutla akan timbul dampak kesehatan dalam munculnya infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
“Dampaknya kalau masa kebakaran hutan, ada beberapa jurnal yang mengatakan terjadi peningkatan juga kasus Covid-19 di udara panas, yang akan berdampak pada peningkatan kasus,” kata Wiendra.
Dia menjelaskan karhutla meningkatnya peluang virus melayang lebih lama di udara karena adanya aerosol yang diciptakan asap.
Oleh sebab itu respons penanggulangan pada wilayah yang mengalami kebakaran hutan dan lahan menjadi penting.
Wiendra juga merasa pada situasi karhutla diperlukan protokol tersendiri untuk mencegah penularan serta penyebaran ISPA dan Covid-19.