Pilkada Serentak 2020
Survei Indikator: Mayoritas Masyarakat Menginginkan Pilkada Serentak 2020 Ditunda
Hasil survei menunjukkan mayoritas masyarakat menginginkan Pilkada Serentak 2020 ditunda lantaran masih adanya pandemi Covid-19.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hasil survei nasional Indikator Politik Indonesia menunjukkan mayoritas masyarakat menginginkan Pilkada Serentak 2020 ditunda lantaran masih adanya pandemi Covid-19.
Hasil survei menunjukan 63,1 persen responden memilih Pilkada yang akan digelar 9 Desember 2020 agar ditunda.
Sedangkan 34,3 persen responden menilai Pilkada serentak tetap harus dilaksanakan bulan Desember tahun ini.
"Kalau ditanya masyarakat kita, Pilkada ini sebaiknya ditunda. Ini PR nih buat Komisi II DPR dan pemerintah," ungkap Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi saat pemaparan survei secara virtual, Selasa (21/7/2020).
Baca: Setelah Dapat Rekomendasi PDIP di Pilkada Solo, Putra Jokowi Gibran Pastikan Relawan Tetap Blusukan
Burhanuddin menambahkan, jika Pilkada Serentak tetap digelar Desember 2020, pemerintah harus meyakinkan masyarakat bahwa pelaksanaannya harus siap menggunakan protokol kesehatan yang ketat.
Diketahui, survei nasional Indikator Politik Indonesia ini digelar pada 13-16 Juli 2020.
Baca: KPU: Undang-Undang Memperbolehkan Pasangan Calon Tunggal di Pilkada
Survei tersebut dilakukan dengan kontak telepon dengan menggunakan sampel sebanyak 1.200 responden.
Survei menggunakan metode simple random sampling dengan toleransi kesalahan (margin of error) sekitar 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Penerapan Protokol Kesehatan Saat Pilkada 2020 Menyesuaikan Zona Wilayah
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menegaskan bahwa Pilkada pada 9 Desember 2020 nanti digelar di 270 daerah dengan tingkat penyebaran virus corona atau Covid-19 yang variatif.
"Pemerintah mendukung KPU untuk menyelenggarakan pilkada di tengah pandemi, salah satunya dengan memastikan penerapan protokol kesehatan," kata Plt Dirjen Bina Administrasi dan Kewilayahan Safrizal dalam siaran BNPB, Senin (6/7/2020).
Menurut Safrizal, protokol kesehatan bakal dijalankan sesuai dengan zona masing-masing daerah, dan dibantu oleh Gugus Tugas tingkat nasional, provinsi hingga kota/kabupaten.
"Ada yang merah, ada yang kuning, ada yang oranye, ada yang hijau. Semuanya melaksanakan. Yang membedakan protokolnya," kata Safrizal.
Pelaksanaan pilkada di daerah zona hijau, dikatakan Safrizal, tentu berbeda dengan di daerah zona merah.
Baca: Pilkada 2020 Tak Digelar Online, KPU Singgung Kesiapan Kultur Masyarakat
"Daerah zona hijau kampanye atau kegiatan yang mengumpulkan massa secara fisik diperbolehkan dengan membatasi yang hadir maksimal 200 orang. Di daerah zona merah, jumlah massa dalam kegiatan tersebut harus lebih sedikit," kata Safrizal.
Maka itulah, dalam pilkada di situasi seperti ini, dikatakan Safrizal, penting untuk menggunakan teknologi informasi. Terutama terkait kampanye dan kaitannya dengan biaya logistik kampanye
"Kalau dulu mengumpulkan 10 ribu orang mengeluarkan biaya yang miliaran, sekarang dengan puluhan juta saja sudah bisa dengan streaming," pungkasnya.