Minggu, 5 Oktober 2025

Virus Corona

Istilah New Normal Salah, Komisi VIII DPR, Ahli Epidemiologi hingga Menko PMK Angkat Bicara

Achmad Yurianto mengatakan, istilah new normal yang sering digunakan selama pandemi Covid-19 adalah diksi yang salah.

Tribun Kaltim/Nevrianto Hardi Prasetyo
Petugas memeriksa dokumen kelengkapan penumpang di Terminal Keberangkatan Bandara Aji Pangeran Tumenggung (APT) Pranoto, Jalan Poros Samarinda-Bontang, Samarinda Utara, Kalimantan Timur, Jumat (3/7/2020). Aktivitas Bandara APT Pranoto mulai mengalami peningkatan sejak Sabtu (11/7/2020), penumpang mencapai 1.200 orang dalam sehari atau kurang lebih 70 persen dari situasi normal, namun tetap dengan memperhatikan?protokol kesehatan Covid-19. 

TRIBUNNEWS.COM - Juru Bicara Pemerintah untuk Penangananan Covid-19, Achmad Yurianto mengatakan, istilah new normal yang sering digunakan selama pandemi Covid-19 adalah diksi yang salah.

Oleh karena itu, pemerintah mengubah diksi tersebut menjadi adaptasi kebiasaan baru.

"Diksi new normal dari awal diksi itu segera ubah, new normal itu diksi yang salah dan kita ganti dengan adaptasi kebiasaan baru," kata Yurianto, seperti dikutip dari Kompas.com.

Hal itu kemudian menimbulkan beragam komentar dari banyak pihak.

Juru Bicara Pemerintah untuk Covid-19 Achmad Yurianto.
Juru Bicara Pemerintah untuk Covid-19 Achmad Yurianto. (DOK. BNPB/Toto Satrio)

Komisi VIII DPR

Mengutip dari Kompas.com, Ketua Komisi VIII DPR Yandri Susanto menilai, banyak masyarakat tidak paham dengan arti new normal yang sebenarnya.

"Ada pemahaman yang salah di masyarakat, 'new normal itu normal', kata masyarakat."

"Jadi masyarakat ke pasar, bekerja, ke kebun seperti Covid-19 sudah berakhir, padahal faktanya Covid-19 masih banyak dan klaster baru kita temukan," ungkap Yandri.

Yandri mengatakan, ia setuju sependapat dengan Yurianto, new normal tidak tepat digunakan karena terdengar asing bagi masyarakat.

Baca: Ganti Jadi Adaptasi Kebiasaan Baru, DPR Minta Gugus Tugas Evaluasi Kebijakan New Normal

Baca: New Normal Diganti Adaptasi Kebiasaan Baru, Muhadjir: Enggak Perlu Ribut dengan Istilah

Oleh karena itu, Yandri meminta Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencari frasa yang mudah dipahami seluruh masyarakat, Covid-19 belum berakhir.

"Kita ingin mendengarkan frasa apa yang bisa digunakan agar masyarakat dari Sabang sampai Merauke itu sama, pandemi ini belum berakhir, risikonya sangat tinggi dan kurvanya naik," terangnya.

Ahli epidemiologi

Terkait dengan istilah new normal, Ahli Epidemiologi dari Universitas Indonesia, Pandu Riono menyarankan agar pemerintah menggunakan istilah yang mudah dipahami oleh masyarakat.

"Menurut saya untuk masa mendatang, harus memanfaatkan atau menggunakan, atau merumuskan istilah yang mudah dimengerti masyarakat," ujar Pandu, seperti dilansir Kompas.com.

Ia juga menyarankan, agar pemerintah segera memperbaiki kesalahan penggunaan diksi new normal dan cara komunikasi dengan masyarakat di masa pandemi Covid-19.

Baca: Istana Akui New Normal Diksi yang Salah, Anggota DPR Minta Masifkan Adaptasi Kebiasaan Baru

"Kalau memang sudah mengakui salahya kemudian apa yang harus dilakukan, perbaiki," ungkapnya.

Pandu menyebut, kekurangan pemerintah bukan hanya dalam menyusun diksi terkait new normal, tetapi juga menjalin komunikasi dengan masyarakat.

Ia menyarankan agar dilakukan perbaikan komunikasi terkait risiko Covid-19 serta penting memperbaiki cara penyebaran informasi risiko dan berbagai macam pencegahannya.

"Diperbaiki dengan tadi meningkatkan komunikasi untuk perubahan perilaku pada penduduk," jelasnya.

Menko PMK

Pemerintah mengakui salah dalam memilih frasa new normal dalam menghadapi pandemi Covid-19.

Namun, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy meminta kesalahan tersebut tidak perlu lagi diributkan.

Ia mengatakan, pemerintah tidak akan menggunakan istilah new normal lagi dan menggantinya dengan adaptasi kebiasaan baru.

"Soal new normal, setahu saya sudah dipertegas sekarang tidak gunakan new normal, sekarang istilahnya adaptasi dengen keadaan yang baru," kata Muhadjir, seperti dikutip dari Kompas.com.

"Kita nggak perlu ribut dengan istilah, lah," tambahnya.

Baca: Istana: Istilah New Normal Salah Kaprah karena Pakai Bahasa Asing

Menurut Muhandjir, kesahalan dalam penggunaan istilah itu terjadi karena memang Indonesia belum memiliki Undang-undang yang memadai dalam menghadapi bencana non alam seperti pandemi Covid-19.

Ia mengatakan, jika merujuk pada Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, saat ini Indonesia harusnya masuk dalam masa transisi rehabilitasi ekonomi atau tansisi pra ekonomi.

Namun, Muhadjir menilai, Undang-undang tersebut tidak terlalu sesuai untuk menggambarkan kondisi bencana non alam seperti pandemi Covid-19.

Untuk itu, lanjut dia, Undang-undang Penanggulangan Bencana akan segera direvisi.

Baca: Demokrat Sebut Penambahan Kasus Covid-19 Akibat Kebijakan New Normal

Menurutnya, kemungkinaan di revisi Undang-undang yang baru, akan ditetapkan istilah yang paling sesuai untuk kondisi saat ini.

"Mungkin nanti ada istilah khusus dengan Undang-undang yang baru, istilah new normal, lockdown tak sesuai Undang-undang."

"Sehingga kalau kita gunakan harus hati-hati, termasuk adaptasi baru," terangnya.

(Tribunnews.com/Nanda Lusiana, Kompas.com/Haryanti Puspa Sari/Sania Mashabi/Ihsanuddin)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved