Senin, 6 Oktober 2025

Pro Kontra RUU HIP

Sikapi Wacana RUU HIP Ganti Nama Jadi RUU PIP, Politikus Demokrat: Kok Ngotot Banget

Bambang Purwanto menilai sebaiknya Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) ditarik dari Prolegnas 2020.

DPR RI
Bambang Purwanto 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Fraksi Demokrat Bambang Purwanto menilai sebaiknya Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) ditarik dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020.

Hal tersebut disampaikan Bambang menyikapi banyaknya penolakan dari berbagai kalangan dan dapat mendegradasi nilai-nilai Pancasila.

"Bukannya merespon pemilik mandat (agar ditarik) malah ada wacana mengganti nomenklaturnya dengan RUU PIP (Pembinaan Ideologi Pancasila) tentu sama saja hanya ganti baju ada apa? kok ngotot banget," kata Bambang kepada wartawan, Jakarta, Kamis (3/7/2020).

Baca: Bertemu Pimpinan MPR, LVRI Usul RUU HIP Jadi RUU PIP

Bambang menjelaskan, proses RUU HIP sampai saat ini memang sudah di paripurnakan menjadi RUU inisiatif DPR, tetapi belum dibahas dengan Presiden dan baru tahap permintaan surat presiden (supres).

"Pada rapat evaluasi Prolegnas 2020 dengan Menkumham pada 2 juli 2020 di Baleg, bahwa pemerintah masih mempelajari RUU HIP," ujar Bambang.

Baca: Fadli Zon: RUU HIP Itu Tidak Dibutuhkan, Sudah Cabut Saja

Menurutnya, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang - Undangan.

Kemudian, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa pada pasal 70 ayat (1), Rancangan Undang - undang dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPR dan Presiden.

"Berdasarkan pasal tersebut jelas secara prosedur Undang-Undang HIP dapat di cabut dari daftar RUU. Apalagi saat ini mendapat penolakan dari kalangan masyarakat secara luas sebagai pemilik mandat," kata Bambang.

Kata Pakar Hukum Tata Negara

Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis mengkritik DPR yang mengusulkan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP).

Margarito Kamis menilai adanya RUU HIP adalah cara untuk mereduksi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

"Jangan-jangan ini cara mereduksi Pancasila, sekali lagi ini kan diletakkan dengan undang-undang yang menjadi objek mulia," kata Margarito Kamis dalam webinar bertema 'RUU HIP, Dalam Perspektif UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945', Rabu (17/6/2020).

Margarito Kamis beralasan RUU HIP ini membuka ruang hidupnya ideologi lain karena tidak dimasukannya TAP MPRS XXV/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara, dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.

Baca: Wakil Ketua MPR RI Syarief Hasan Sejak 29 Mei 2020 Minta RUU HIP Dibatalkan

Menurutnya, TAP MPRS XXV/1966 merupakan hal fundamental sebagai pijakan dari RUU HIP ini.

"Jadi jangan-jangan RUU HIP ini adalah cara menyediakan pintu masuk kecil untuk mereduksi Pancasila," ujarnya.

Namun, ia juga menyoroti dominasi perbincangan TAP pelarangan PKI dan ajaran Komunisme itu.

Menurutnya, hal itu menenggelamkan semua kalangan ke dalam, seolah-olah TAP itu adalah satu-satunya TAP, yang relevan untuk diperbicangkan. Ketetapan

Padahal, kata Margarito, ada ketetapan lain yang berhubungan dengan RUU HIP, namun banyak dilupakan orang.

Baca: Mahfud MD Beberkan 2 Masalah Utama pada RUU HIP

Yaitu TAP MPRS Nomor XXVI/MPRS/1966 Tentang Pembentukan Panitia Peneliti Ajaran-Ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno.

Ketetapan ini ditetapkan pada tanggal 5 Juli 1966. Tanggal yang sama dengan ketetapan MPR Nomor XXV itu.

Hasil kerja Panitia, menurut pasal 3 TAP ini harus menyampaikan laporannya ke Badan Pekerja MPRS untuk mendapatkan persetujuan, sambil menunggu pengesahan oleh MPRS atau MPR hasil pemilihan umum yang akan datang

Namun, Margarito tidak mendapat informasi apakah ada laporan kepada MPR yang bersidang pada tahun 1973.

Baca: Polemik RUU HIP, SBY: Saya Simpan Pendapat Saya agar Politik Tak Semakin Panas

"Apakah benar-benar dilakukan penelitian, dilaporkan ke BP MPRS, juga tidak jelas. Tidak dapat berspekulasi, tetapi kenyataan terferifikasi menunjukan pada Sidang Umum MPR tahun 1973, juga tak dikeluarkan ketetapan tentang pengesahan laporan itu," ucapnya.

Atas kenyataan itu, Margarito berpendapat ada dua masalah.

Pertama, apa dan bagaimana ajaran Bung Karno. Mana yang dinyatakan dikoreksi atau yang tidak dikoreksi.

Sebagai konsekuensi tidak ada laporan itu, maka tidak seorang pun yang dapat secara otoritatif menyatakan ajaran Bung Karno bagian ini atau itu sebagai ajaran, setidak-tidaknya tidak bisa dikembangkan.

Kedua, kata Maragarito, tidak adanya ajaran Bung Karno Pimpinan Besar Revolusi yang dikoreksi secara hukum, dan dinyatakan secara hukum.

Misalnya, tidak bisa dikembangkan, maka konsekuensi hukumnya tidak ada ajaran Bung Karno yang terlarang untuk dikembangkan. Konsekuensi ini menghasilkan kabut hitam tebal untuk dua hal.

"Bagaimana memastikan secara spesifik ajaran bung Karno? Bagaimana memastikan secara spesifik cara mengembangkannya? Ini adalah dua kabut tebalnya. Pada titik ini, beralasan untuk menempatkan RUU HIP sebagai cara mengembangkan ajaran Bung Karno. Cara yang kehebatannya terlegitimasi secara rapuh dengan hukum," katanya.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved