Peringatan Hari Hutan Hujan Dunia, Momentum Ingatkan Kesadaran Pentingnya Perlindungan Ekosistem
Merusak hutan menempatkan hidup manusia dalam bahaya sehingga saat ini waktunya untuk membuat keputusan yang tepat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peningkatan deforestasi yang telah dialami selama dekade terakhir merupakan salah satu tantangan lingkungan terbesar yang kita hadapi saat ini.
Hari Hutan Hujan Dunia yang diperingati setiap tanggal 22 Juni setiap tahun selayaknya jadi kesempatan meningkatkan kesadaran mengenai pentingnya perlindungan ekosistem yang dimiliki dan sangat vital untuk eksistensi kita di bumi.
Tidak lain dan tidak bukan, tindakan ini dibutuhkan untuk mencegah wabah di masa depan.
Sesuai data Universitas Maryland yang dirilis di Global Forest Watch, di tahun 2019, setiap enam detik bumi kita kehilangan area hutan hujan yang setara dengan lapangan sepakbola.
"Merusak hutan menempatkan hidup manusia dalam bahaya sehingga saat ini waktunya untuk membuat keputusan yang tepat untuk melindungi generasi saat ini dan masa depan," kata Dian Pitaloka, Manajer Kampanye Act for Farmed Animals dalam keteranganya, Senin (22/6/2020).
Baca: Rachmat Gobel: Masyarakat Kawasan Hutan Bisa Kelola SDA Tanpa Rusak Ekosistem
Negara Brazil, Kongo, Indonesia, Bolivia, Peru, Malaysia, dan Kolombia merupakan negara-negara yang kehilangan paling banyak area hutan di tahun 2019.
Menurut Dian, daging, kedelai, dan minyak kelapa sawit merupakan penyebab utama degradasi hutan.
"Hal yang paling umum dari semua negara tersebut menunjukkan aktivitas pertanian dan peternakan merupakan penyebab utama terjadinya deforestasi," katanya.
Di negara-negara Amerika Latin, 59% deforestasi antara tahun 2001 sampai dengan 2018 disebabkan oleh produksi produk pertanian dan peternakan untuk perdagangan, mayoritas berupa daging dan produksi kedelai.
Sebuah area hutan yang terletak di antara hutan Amazon dan daerah sekitar padang Cerrado dimusnahkan dan digunakan untuk menanam biji-bijian sebagai pangan hewan yang dibesarkan untuk menghasilkan daging, telur dan produk susu di seluruh dunia.
Baca: Petani Sawit Mandiri Bertahan di Tengah Pandemi Lewat Penjualan Kredit RSPO
Sekitar tiga per empat produksi kedelai global digunakan untuk pakan ternak.
Brazil sebagai pengekspor kedelai terbesar di dunia, berkontribusi atas 44,5% total ekspor, dan Indonesia erupakan salah satu importir utama kedelai dari Brazil karena biji-bijian tersebut digunakan untuk memberi makan hewan yang dibesarkan untuk makanan.
“Ini berarti ketika kita mengkonsumsi produk hewani di negara sendiri, sama artinya kita berkontribusi pada deforestasi terbesar yang terjadi di dunia,” kata Dian.
Di Asia Tenggara, 80% deforestasi yang terjadi antara tahun 2001 sampai dengan tahun 2018 disebabkan oleh produksi produk agrikultur untuk perdagangan, yang paling signifikan adalah minyak sawit.
Di Indonesia dan negara ekuator lainnya seperti Malaysia, produksi minyak sawit merupakan penyebab utama deforestasi yang menyebabkan semakin berkurangnya hutan hujan tropis.
Baca: Waspada Dampak Siklon Tropis Nuri, Hujan Lebat Hingga Gelombang Tinggi
Minyak sawit merupakan minyak alami yang paling banyak dikonsumsi di bumi, dan ditemukan di banyak produk yang dijual di supermarket seperti es krim, mie, coklat, margarin, dan roti.
Walaupun begitu, terdapat berita yang cukup baik di tengah tantangan yang dihadapi.
Setelah mengimplementasi beberapa kebijakan publik, laju deforestasi menurun sebesar 5% di tahun 2019 jika dibandingkan dengan tahun 2018–di mana sudah dalam tiga tahun terakhir laju tersebut mengalami penurunan, namun masih banyak yang harus dilakukan.
Manfaat hutan tidak dapat disangkal.
Bukan hanya untuk mencegah pandemi baru, tetapi juga sangat krusial dalam menentukan masa depan kita.
Baca: Pakar: Masalah Tumpang Tindih Regulasi Ganggu Iklim Investasi di Indonesia
Walaupun hutan tropis hanya berjumlah 7% dari seluruh area di bumi, mereka menjadi tempat tinggal bagi lebih dari setengah spesies di bumi, dan dikenal sebagai tempat yang paling beragam di bumi.
“Hutan memberikan air bersih yang kita minum, rumah bagi banyak masyarakat adat, melindungi dari banjir, kekeringan, erosi dan menunjang jutaan penduduk,” katanya.
Memerangi deforestasi merupakan kunci untuk mengatasi perubahan iklim.
Jika deforestasi diibaratkan sebagai sebuah negara, maka negara tersebut akan menempati peringkat tiga dengan jumlah emisi karbon yang besar, setelah Cina dan Amerika.
“Tentu saja, kebijakan publik merupakan hal yang sangat penting dalam momen ini. Namun untuk membuat pilihan yang lebih sadar dan mencegah deforestasi juga berada di tangan konsumen: mengurangi atau menghentikan konsumsi daging, susu dan telur dan mencegah konsumsi produk tanpa sertifikasi minyak sawit ISPO merupakan cara terbaik untuk bisa berkontribusi,” kata Dian.
Baca: Komunitas Adat Ekuador Larikan Diri ke Hutan Hujan Amazon, Khawatir akan Punah karena Virus Corona
Sinergia Animal mengundang konsumen untuk melakukan tantangan 21 hari vegan, yang akan memberikan panduan harian, resep, dan saran mengenai nutrisi untuk beralih dalam pola makan berbasis nabati.
Bagian terbaiknya: itu semua gratis. Daftar sekarang di 21hariveg.org
Sinergia Animal juga mengundang pemerintah untuk mengambil langkah dalam mencegah pandemi, dengan cara mencegah laju deforestasi.