Virus Corona
Pemerintah Disarankan Sosialisasikan Protokol Kesehatan 2 Kali Lebih Gencar
"Seharusnya di masa new normal ini kampanye atau sosialisasi protokol kesehatan dua kali lebih gencar," pungkasnya
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Taufik Ismail
TRIBUNNEWS. COM, JAKARTA - Lembaga Riset LSI Denny JA melakukan survei kualitatif mengenai kecemasan masyarakat terhadap Pandemi virus corona atau Covid-19.
Berdasarkan survei tersebut, masyarakat lebih cemas terhadap kondisi ekonominya ketimbang terpapar virus Corona.
Baca: LSI Denny JA: Publik Kini Lebih Cemaskan Kondisi Ekonomi Ketimbang Terpapar Covid-19
"Kecemasan publik atas kesulitan ekonomi kini melampaui kecemasan publik atas terpapar Corona," kata Peneliti LSI Denny JA, Rully Akbar melalui telekonferensi, Jumat, (12/6/2020).
Oleh karena itu menurut Rully pemerintah sebaiknya membuka kembali aktivitas ekonomi dengan memperbolehkan masyarakat bekerja, baik itu di sektor formal maupun informal.
"Membolehkan publik bekerja kembali namun dengan protokol kesehatan menjadi salah satu solusi," katanya.
Menurut Rully jumlah warga yang terkapar akibat buruknya kondisi ekonomi lebih tinggi ketimbang yang terpapar virus Corona.
Berdasarkan data Apindo terdapat 7 juta buruh yang kehilangan pekerjaan.
Sementara itu jumlah yang terpapar virus kurang lebih 350 ribu.
Kecemasan terhadap ekonomi memuncak karena ancaman pengangguran dan kelaparan.
Rully mengatakan kecemasan tersebut harus menjadi perhatian serius pemerintah.
Jangan sampai pandemi Covid-19 menimbulkan krisis ekonomi karena akan menimbulkan krisis sosial dan politik.
"Ketika mereka mulai lapar, mereka bisa menjadi marah atau mudah dipantik untuk membuat kerusuhan sosial. Dimulai krisis kesehatan, lalu ke krisis ekonomi maka jika tidak ditangani akan mengarah pada krisis sosial dan politik," katanya.
Meskipun demikian menurut Rully pemerintah juga harus menahan penyebaran Covid-19.
Jangan sampai menurutnya pembukaan aktivitas ekonomi di masa new normal menimbulkan gelombang baru pandemi, yang akan mempersulit pemulihan ekonomi.
Salah satu caranya dengan menggencarkan kampanye protokol kesehatan dengan melibatkan banyak pihak terutama tokoh masyarakat.
"Seharusnya di masa new normal ini kampanye atau sosialisasi protokol kesehatan dua kali lebih gencar," pungkasnya.
Sebelumnya Riset kualitatif LSI Denny JA tersebut dilakukan dengan mengkaji data data sekunder dari Gallup Poll, Voxpopuli center, dan riset eksperimental oleh Denny JA dan Eriyanto.
Menurut Rully pada awal Maret atau setelah WHO mengumumkan Pandemi, masyarakat lebih cemas bila virus Corona akan menyerang kesehatan.
Saat itu 118 ribu warga di 118 negara dinyatakan terjangkit virus dengan angka kematian mencapai 4 ribu orang.
"Apalagi disebutkan bahwa penyebaran virus Corona lebih cepat menular ketimbang dua virus serupa sebelumnya yakni SARS dan Mers.
Itu menyebabkan masyarakat lebih khawatir dengan kesehatannya," kata Rully.
Ketika WHO sudah menyatakan Pandemi, negara negara di dunia kemudian mengeluarkan kebijakan mulai dari yang berat yakni karantina atau lockdown, hingga pembatasan sebagian aktivitas.
Misalnya Italia yang menerapkan Lockdown sementara Indonesia menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
"Lockdown menjadi kebijakan populis, karena didukung data berkontribusi positif dalam penurunan penyebaran, selain anjuran pakar kesehatan, juga kebijakan itu menjawab pertanyaan mengenai virus itu," katanya.
Namun, Pembatasan pembatasan tersebut membuat pertumbuhan ekonomi merosot, karena perputaran roda ekonomi menurun.
Tidak semua industri bisa melakukan pekerjaan dari rumah. Oleh karena itu kebijakan pembatasan tersebut mengakibatkan banyak orang di PHK.
'Ketika pertama masyarakat aware dengan corona, di bulan Juni ada turning point, kecemasan terhadap virus mulai turun, tapi kecemasan terhadap kondisi ekonomi meningkat," katanya.
Berdasarkan penelitian eksperimental Denny JA dan Eriyanto tehadap 240 mahasiswa UI yang ditempatkan pada 8 kelompok responden secara acak kesimpulannya mereka lebih takut pada dampak ekonomi.
"Ketika diberikan treatmen mengenai dampak ekonomi mereka lebih takut ketimbang saat diberikan treatmen penyebaran virus terhadap kesehatan," katanya.
Penelitian eksperimental tersebut diperkuat oleh hasil riset Voxpopuli Center.
Berdasarkan hasil riset 16 Mei sampai 1 Juni melalui sambungan telepon terhadap 1200 responden, masyarakat lebih khawatir terhadap dampak ekonomi ketimbang kesehatan.
"Riset tersebut menemukan 67,4 persen lebih takut dampak ekonomi dibanding pandemi virus terhadap kesehatan yang hanya 25,3 persen," katanya.
Sementara itu kajian data lembaga riset internasional Gallup Poll yang melakukan survei di Amerika menemukan fakta bahwa terjadi perubahan kekhawatiran masyarakat dari yang awalnya takut pandemi virus menyerang kesehatan, menjadi khawatir pandemi berdampak pada ekonomi.
"Pada bulan April , dan di minggu pertama Mei. Masyarakat di Amerika lebih banyak khawatir virus menyerang kesehatan mencapai 57 persen.
Sementara yang khawatir virus berdampak pada ekonomi Hanya 49 persen.
Di pertengahan Mei atau 11-17 Mei, terjadi perubahan yakni yang khawatir terdapat dampak ekonomi 53 persen, sementara cemas terpapar virus 51 persen," tuturnya.
Baca: Pantas Tak Pernah Kelihatan, Ternyata Ini Alasan KD Tak Pernah Injakkan Kaki Ke Istana Cinere
Dari kajian terhadap tiga data Sekunder itu menurut Rully, LSI Denny JA menyimpulkan bahwa masyarakat kini lebih khawatir pandemi Corona berdampak pada ekonominya, ketimbang pada kesehatannya.
"Kecemasan publik atas kesulitan ekonomi kini melampaui kecemasan publik atas terpapar Corona," pungkasnya.