Politikus Demokrat: Jangan Sedikit-sedikit Warga Ditangkap Apabila Beda Pendapat dengan Pemerintah
Didik menjelaskan, pada Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Demokrat Didik Mukrianto menyayangkan jika ada upaya pembungkaman terhadap masyarakat yang mengkritik kebijakan pemerintah.
Hal tersebut disampaikan Didik menyikapi pengkritik pemerintah terkait pengananan Covid-19 melalui media sosial, Ruslan Buton ditangkap aparat kepolisian atas laporan Aulia Fahmi.
Laporan tersebut masuk ke SPKT Bareskrim Polri dengan nomor LP/B/0271/V/2020/BARESKRIM tanggal 22 Mei 2020.
Didik menjelaskan, pada Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Oleh sebab itu, kata Didik, tidak dibenarkan siapapun yang mengganggu, mengekang, mengancam, dan melakukan kriminalisasi, karena itu adalah bagian dari hak asasi manusia
"Konsekuensi negara demokrasi, maka pemimpin dan pemerintah tidak boleh anti kritik. Justru sebaliknya, partisipasi dan pelibatan masyarakat menjadi mutlak dibutuhkan," ujar Didik kepada wartawan di Jakarta, Rabu (3/6/2020)
"Jangan sedikit-sedikit (warga) ditangkap dan ditahan, apabila ada pendapat yang berbeda dengan pemerintah," sambung Didik.
Menurutnya, hanya negara yang anti demokrasi dan pemimpin yang otoriter yang menggunakan pendekatan keamanan dan membiarkan terjadinya pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat dan hak-hak sipil.
"Sungguh mundur ke belakang kalau di negara demokrasi ini, pemikiran, diskursus, diskusi, kritik dianggap sebagai sebuah ancaman," ucap Didik.
Didik menyadari Polri memang memiliki kewenangan untuk melakukan upaya paksa dalam penindakan hukum.
Namun, terkait dugaan pelanggaran beberapa pasal dalam Undang-Undang ITE dan KUHP, yang bukan kejahatan dengan kekerasan, ada bijaknya kewenangan itu tidak boleh dipakai sembarangan.
"Saya berpandangan penangkapan terhadap Ruslan Buton seharusnya dipertimbangkan dengan matang, apalagi tidak ada indikasi bahwa apa yang disampaikan Ruslan membuat masyarakat terprovokasi melakukan makar terhadap Presiden Joko Widodo," papar Didik.
Sebagai upaya penegakan hukum, kata Didik, seharusnya Kepolisian dapat melakukan penyelidikan jika apa yang ditulis atau diucapkan seseorang di ruang publik atau media sosial terindikasi tindak pidana.
Namun, proses hukumnya semestinya bukan dengan langsung melakukan penangkapan ketika belum ada indikasi akibat dari pernyataan orang tersebut.
"Polisi harusnya meminta keterangan ahli terlebih dulu, bukan langsung bertindak, apalagi jika upaya paksa penangkapan tersebut inisiatif polisi sendiri tanpa ada yang melaporkannya dulu," ujar Didik.
Berkaca kejadian ini, Didik menilai, sungguh pukulan berat bagi pecinta demokrasi dan jangan sampai kejadian tersebut dianggap sebagai potret yang sangat memilukan, serta memalukan wajah Indonesia sebagai negara demokrasi.
"Untuk itu apabila Presiden masih menganggap demokrasi harus tetap dijaga kemurnian dan tujuannya, saya berharap Presiden, pemerintah dan aparat pemerintah untuk terus menjamin hak-hak rakyatnya termasuk kebebasan berpendapat sebagaimana dimanatkan dalam konstitusi," paparnya.
Diketahui, Ruslan membuat pernyataan terbuka kepada Presiden Joko Widodo dalam bentuk video dan viral di media sosial pada 18 Mei 2020. Ruslan menilai tata kelola berbangsa dan bernegara di tengah pandemi corona sulit diterima oleh akal sehat.
Ruslan juga mengkritisi kepemimpinan Jokowi. Menurut Ruslan, solusi terbaik untuk menyelamatkan bangsa Indonesia adalah Jokowi rela mundur dari jabatannya sebagai Presiden.
"Namun bila tidak mundur, bukan menjadi sebuah keniscayaan akan terjadinya gelombang gerakan revolusi rakyat dari seluruh elemen masyarakat," tutur Ruslan di video itu.