Sabtu, 4 Oktober 2025

22 Tahun Reformasi, Kerugian Negara akibat Korupsi Capai Rp 8,4 Triliun

Diskusi Tribunnews yang bertema '22 Tahun Setelah Reformasi, Mau Apa Lagi?' digelar secara daring, Kamis (21/5/2020) sore.

Editor: Ifa Nabila
TribunSolo.com
Dalam diskusi '22 Tahun Setelah Reformasi, Mau Apa Lagi?' yang digelar Tribunnews, menyebut korupsi menggurita menjadi PR utama. 

TRIBUNNEWS.COM - Diskusi Tribunnews yang bertema '22 Tahun Setelah Reformasi, Mau Apa Lagi?' digelar secara daring, Kamis (21/5/2020) sore.

Diskusi tersebut menghadirkan dua narasumber, yakni Guru Besar sekaligus Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret (FISIP UNS), Prof. Dr. Ismi Dwi Astuti Nurhaeni dan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, Sunanto.

Prof. Ismi mengatakan, bahwa 22 tahun pasca reformasi, korupsi di Indonesia sudah menggurita di hampir semua sektor dan lembaga.

Bayangkan saja, hingga tahun 2019, kerugian negara negara akibat tindak pidana korupsi mencapai Rp 8,4 triliun.

"14 sektor yang paling merugi, tertinggi adalah sektor transportasi," kata Prof. Ismi.

Lebih lanjut, Prof. Ismi menjelaskan, indeks persepsi di Indonesia mengalami peningkatan 2 poin dari 38 di tahun 2018, meingkat menjadi 40 di tahun 2019.

Baca: 22 Tahun Setelah Reformasi, Kepentingan Rakyat Harus di Atas Segalanya

"Artinya indeks persepsi di Indonesia mengalami peningkatan."

"Kalau kita bandingkan dengan kondisi di Asia Tenggara pada tahu 2019 itu posisi Indonesia terbaik di ranking keempat."

"Tapi meskipun terbaik di rangking keempat Indonesia masih berada di posisi 85 dari 180 negara yang diperbandingkan," ungkapnya.

Menurut dia, kasus korupsi terbanyak terjadi di level pemerintah kabupaten.

Sementara kasus korupsi terendah terjadi di level penegak hukum.

Selain itu, Prof. Ismi juga mengungkapkan penyebab adanya korupsi.

Dekan FISIP UNS ini mengatakan, ada empat hal yang dapat mendorong setiap orang, organisasi serta institusi untuk melakukan tindak pidana korupsi.

Baca: 22 Tahun Reformasi, Indonesia Berada di Titik Persimpangan Orientasi Pembangunan

"Pertama dasarnya serakah, karena setiap manusia di dalam dirinya ada potensi untuk melakukan perbuatan-perbuatan serakah," terangnya.

Kedua, menurut dia, hal yan mendorong terjadinya korupsi adalah kebutuhan.

"Jadi ada ada kebutuhan individu yang mungkin dibutuhkan meskipun ini sifatnya subyektif, yang digunakan untuk mendukung agar hidupnya itu menjadi lebih kaya," katanya.

Ketiga, yang menurut Prof. Ismi menjadi perhatian adalah adanya kesempatan.

Baca: Korupsi Menggurita jadi PR setelah Reformasi Berjalan 22 Tahun, Hukumpun Dinilai Tajam ke Bawah

"Organisasi, institusi dan masyarakat selama ini masih membuka adanya kesempatan bagi orang-orang untuk melakukan korupsi," terangnya.

Keempat, lanjut dia, bagaimana pengungkapan terhadap kasus korupsi yang selama ini terjadi.

"Kalau kasus korupsi yang selama ini terjadi ada pengabaian dalam arti tindakan hukum, sanksi sosial yang dilakukan terhadap kasus-kasus dan pelaku korupsi tidak sebanding, itu bisa mendorong seseorang melakukan korupsi berulang-ulang," paparnya.

Simak video lengkapnya:

(Tribunnews.com/Nanda Lusiana Saputri)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved