Tanggapan Para Pemred Media soal Kritik Netizen 'Wartawan Enak, Bikin Salah Tinggal ke Dewan Pers'
Gencarnya hoaks soal virus Corona, Dewan Pers, Arif Zulkifli menekankan agar masyarakat dapat mengutamakan media-media yang tidak anonim.
TRIBUNEWS.COM - Presiden Joko Widodo akhirnya mengumumkan adanya warga negara Indonesia yang positif terserang virus Corona (covid-19) pada Senin (2/3/2020) lalu.
Adapun jumlah korban positif virus Corona terdapat dua orang yang berasal dari Depok, Jawa Barat.
Keduanya merupakan ibu berusia 64 tahun dan anak perempuannya berusia 31 tahun.
Kabar ini tak hanya mengejutkan, namun mengakibatkan menimbulkan kepanikan di masyarakat Indonesia.
Segala pemberitaan terkait kronologi kejadian, informasi korban, dan semua hal terkait virus Corona ramai dikonsumsi masyarakat.
Tak terkecuali berita yang mengandung hoaks juga gencar diproduksi oleh oknum-oknum tertentu.
Namun, sayangnya masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak dapat membedakan antara hoaks dan fakta.
Bahkan masyarakat tidak dapat mengenali mana berita valid dari media yang resmi diawasi Dewan Pers yang biasa kita kenal sebagai media arus utama dan berita dari media yang tidak jelas sumbernya.
Maka tak heran jika pada akhirnya media arus utama justru ikut dipandang sebagai sumber keresahan, bahkan dicap sebagai hoaks.

Dalam hal ini, Dewan Pers yang juga Kepala Pemberitaan Tempo Media, Arif Zulkifli menekankan agar masyarakat dapat mengutamakan media-media yang tidak anonim.
Menurutnya, ketika media terkonfirmasi resmi tersebut melakukan kesalahan maka masyarakat tahu kemana dirinya harus mengarahkan kritik kemarahannya.
Arif mengatakan, kesalahan atas sebuah pemberitaan mungkin sekali dapat terjadi.
Hal ini lantaran media merupakan komponen yang bergerak dalam sebuah koridor kecil dan terbatas.
Baik terbatas waktu dengan narasumber, ruang lingku, hingga durasi deadline yang terus berjalan.
Oleh karenanya, para reporter memang dituntut bekerja dengan tepat di dalam keterbatasan tersebut.
"Manakala dia melakukan kesalahan, maka yang pertama sekali adalah dia harus melakukan ralat," ungkap Arif, dilansir ROSI dalam KompasTV, Kamis (5/3/2020).
Menyinggung soal aturan, Arif menyampaikan media arus utama merupakan media yang resmi mempunyai tata tertib dan aturan-aturan mengenai kode etik jurnalistik.
Adapun aturan-aturan tersebut dipegang oleh Dewan Pers sebagai pihak yang mengawasi media-media terkonfirmasi atau resmi.
Baca: Viral Keseruan Pengantin Ini Menikah Tanpa Resepsi, Hanya Pakai Dress Kasual & Tanpa Make Up Tebal
Seperti halnya aturan meralat berita dalam sebuah platform digital.
Pada kasus ini Arif mencontohkan, ketika terdapat judul berita yang salah maka media tidak dapat langsung menimpanya dengan judul baru.
Namun, media harus meralat berita dengan menyertakan penjelasan di akhir berita atas koreksi judul sebelumnya.
Lebih lanjut, dalam kasus ini media arus utama itu sendiri juga memungkinkan untuk termakan sumber berita dari hoaks yang tersebar bebas di sosial media lain.
Oleh karenanya, media diharapkan menjadi kliring house atau rumah untuk pelurusan berita dan informasi.
Tetapi, pada kenyataannya kini berbagai tuduhan miring terhadap media kerap berhamburan.
Jurnalisme kini dituduh sebagai media yang sudah tidak beretika karena ikut menyebarluaskan hoaks itu sendiri.
Menanggapi hal tersebut, Arif menerima kemungkinan.
"Saya kira itu kritik yang sangat baik. Saya kira media bukan sebuah institusi yang imun dari semua kesalahan. Saya kira itu bagus sekali dan media memperbaiki diri," kata Arif.
Lebih lanjut, kembali ia menekankan adanya pengawasan oleh Dewan Pers maka media harus berjalan dalam sebuah tata order berdasarkan undang-undang dan kode etik.
"Manakala dia keluar dari itu semua maka dia harus mau bersedia mengoreksi bahkan meminta maaf kalau dia salah atas apa yang dilakukannya," ungkap Arif.
Pada konteks tersebut, Arif menyinggung sikap mengoreksi ini tidak terjadi kepada media-media yang tidak memiliki newsroom untuk mengontrol sebuah berita, seperti media sosial.
Walau demikian, ia mengatakan tetap tidak memungkiri jika media arus utama ternyata juga dapat menjadi sumber ketakutan masyarakat.
Kritik Netizen Terhadap Media
Sementara di sisi lain, disinggung Rosi selaku pembawa acara bahwa media sering kali mendapat kritik tajam oleh netizen sebagai konsumennya.
"Kalau media arus utama enak hidupnya, kalau bikin salah tinggal ke Dewan Pers. Tapi coba, kalau netizen yang bikin salah langsung kena Undang-undang ITE. Enak banget hidup wartawan,' " kata Rosi mengutip salah satu kritik netizen.
Menanggapi hal tersebut Wakil Pimpinan Redaksi TVOne, Totok Suryanto bersuara.
Menurut Totok, media harus memiliki semangat yang sama besarnya dalam mengoreksi kesalahan dan ketika sedang memberitakan.
Senada dengan Arif, Totok mengungkapkan media arus utama juga bisa saja melakukan kekeliruan, seperti kemungkinan termakan hoaks.
Namun, Totok menggarisbawahi jika media tahu apa yang diberitakan adalah keliru maka tidak boleh bersikap defensif.
"Kita segera merespon itu dan memberikan hak yang lebih barangkali kepada siapa yang mungkin terkena dengan berita itu," ungkap Totok.
Di sisi lain, Pimpinan Redaksi Kompas.com, Wisnu Nugroho menekankan posisi Dewan Pers terhadap media terkonfirmasi.
Wisnu mengatakan Dewan Pers adalah wadah di mana kesalahan atau kekeliruan atau persengketaan ditempuh oleh media.
Hal ini jelas berbeda dengan netizen bahwa mereka bukan lah media, sehingga memang diterapkan menggunakan Undang-undang ITE.
Wisnu berpandangan hal ini cukup adil dalam kita sebagai masyarakat dan komponen yang hidup dalam tatanan aturan yang ada di Indonesia.
Baca: Gadis Bertato yang Ditemukan Tewas di Selokan Sempat Video Call Ibu, Ditemani sang Pacar di Kost
Kembali dalam persoalan hoaks, menurut Wisnu, media mempunyai peran sebagai pihak yang harus memerangi hoaks.
Berdasarkan pengalaman di Singapura, diketahui pernah terjadi penyebaran hoaks yang mana satu di antaranya memang diproduksi oleh media.
Tetapi, Wisnu menekankan pihak yang menyebarluaskan hoaks itu sendiri sisanya adalah peran masyarakat dalam bersosial media.
Pada kasus ini hoaks banyak tersebar di grup WhatsApp yang dikonsumsi masyarakat luas.
"Dan itu yang pertama menjadi yang membuat kekisruhan kenapa identitas (warga Depok) itu kemudian muncul dan menjadi bahan pemberitaan di mana-mana," ungkap Wisnu.
(Tribunnews.com/Nidaul 'Urwatul Wutsqa)