Usulan Menko PMK Agar Orang Kaya Nikahi Orang Miskin Hanya 'Intermezzo', Muhadjir: Tak Ada Rencana
Muhadjir Effendy, Menko PMK mengatakan usulan orang kaya nikahi orang miskin hanya selingan belaka.
TRIBUNNEWS.COM - Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy mengusulkan untuk memutus rantai kemiskinan dengan cara, orang kaya menikahi orang miskin.
Usulan tersebut menjadi ramai dan mendapat tanggapan dari berbagai pihak.
Dalam kesempatannya bertemu dengan awak media, Menko PMK mengklarifikasi usulan tersebut.
Ternyata dirinya tidak benar-benar memiliki rencana untuk usulan tersebut.
Menurutnya itu hanya sebuah intermezzo saat dirinya ceramah.

"Itu kan intermezo, selingan dari ceramah saya."
"Tak ada rencana (buat aturan), saya," kata Muhadjir di Kantor Kemenko PMK, Jakarta Pusat, Kamis (20/2/2020), mengutip dari Kompas.com.
Rupanya mantan Mendikbud era Jokowi-JK itu hanya memberi saran kepada Menteri Agama Fachrul Razi.
Saran itu digunakan bila Menag menerbitkan fatwa tentang pernikahan antartingkat ekonomi.
Sebab fatwa itu sendiri, kata dia, memiliki arti saran atau menganjurkan.
"Jadi jangan dipahami, terus (jadi) wajib segala gitu," tambahnya.
Namun, ia pun mempersilakan jika usulan itu dianggap cocok oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Dengan ketentuan, sifatnya hanya anjuran dan bukan kewajiban.
"Itu kan selingan, memberikan contoh."
"Kita kan punya problem keluarga miskin, untuk memotong mata rantai kemiskinan," kata Muhadjir.
"Karena ada kecenderungan, keluarga miskin akan cari menantu sesama mereka."
"Ada bagusnya kalau ada anjuran. Fatwa itu artinya anjuran, kalau yang kaya jangan cari menantu yang kaya juga," jelasnya.
Pandangan psikolog atas fatwa tersebut
Psikolog Keluarga di Yayasan Praktek Psikolog Indonesia, Adib Setiawan SPsi MPsi. mengatakan kenyataan tersebut sudah ada sejak dahulu.
"Sebenarnya masyarakat kita sudah terbentuk hal seperti itu, contohnya orang dari kampung datang ke Jakarta kemudian menikah dengan orang kaya."
"Secara alamiah sudah ada, tetapi hal itu tidak ada intervensi dari pemerintah," ujar Adib kepada Tribunnews.com, Minggu (20/2/2020).
Namun jika anjuran tersebut muncul, maka akan timbul banyak persoalan.
"Karena dasarnya pernikahan itu suka sama suka, karena adanya cinta."
"Jika pernikahan itu bisa menimbulkan kesetaraan, misalnya ketika orang kaya menikahi orang miskin, ia akan tetap menghargai harkat dan martabat dari orang miskin, maka tidak akan menjadi masalah," ungkap psikolog dari www.praktekpsikolog.com yang berkantor di Bintaro, Jakarta Selatan itu.
Menurut Adib, keputusan negara ingin melakukan 'gerakan moral' orang kaya menikahi orang miskin itu sah-sah saja.
"Kalau negara mau melakukan itu ya sah-sah saja, memang cara mengatasi kemiskinan dengan pernikahan itu langkah yang revolusioner."
"Artinya ada perubahan yang signifikan atau cepat dengan pernikahan. Pasti akan timbul pro dan kontra apakah benar bisa atasi kemiskinan," jelasnya.
Sebabnya, negara diharapkan bisa mengkaji dengan sebaik-baiknya apabila mengambil langkah yang revolusioner tersebut.
(Tribunnews.com/Maliana, Kompas.com/Deti Mega Purnamasari)