RUU Ketahanan Keluarga
Draft RUU Ketahanan Keluarga : Istri yang Bekerja Berhak Cuti Melahirkan dan Menyusui Selama 6 Bulan
Draft Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Ketahanan Keluarga mendapat sorotan, lantaran dianggap terlalu memasuki ruang privat.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Draft Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Ketahanan Keluarga mendapat sorotan, lantaran dianggap terlalu memasuki ruang privat.
Tak melulu kontroversial, dalam RUU itu terdapat usulan untuk mengatur kembali jumlah cuti melahirkan dan menyusui bagi istri yang bekerja.
Disebutkan, hak cuti melahirkan dan menyusui lebih panjang dibandingkan yang berlaku saat ini, yakni enam (6) bulan.
Baca: Draft RUU Ketahanan Keluarga : Suami Harus Lindungi Keluarga dari Penyimpangan Seksual
Baca: Komnas HAM: Diskriminatif Jika RUU Ketahanan Keluarga Atur Wajib Lapor Bagi LGBT
Aturan tertulis dalam pasal berikut ini :
Pasal 29
(1) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara, badan usaha milik negara (BUMN), dan badan usaha milik daerah (BUMD) wajib memfasilitasi istri yang bekerja di instansi masing-masing untuk mendapatkan:
a. hak cuti melahirkan dan menyusui selama 6 (enam)
bulan, tanpa kehilangan haknya atas upah atau gaji dan
posisi pekerjaannya;
b. kesempatan untuk menyusui, menyiapkan, dan
menyimpan air susu ibu perah (ASIP) selama waktu kerja;
c. fasilitas khusus untuk menyusui di tempat kerja dan di sarana umum; dan
d. fasilitas rumah Pengasuhan Anak yang aman dan nyaman di gedung tempat bekerja.
(2) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara, badan usaha milik negara (BUMN), dan badan usaha milik daerah (BUMD) wajib memfasilitasi suami yang bekerja di instansi masing-masing untuk mendapatkan hak cuti saat istrinya melahirkan, istri atau Anaknya sakit atau meninggal.
Tak hanya bagi istri yang bekerja di lingkup instansi pemerintahan saja, rancangan aturan tersebut juga mencakup istri yang bekerja di ranah swasta, seperti tertuang dalam pasal 134.
Pasal 134
Pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (2) huruf h berperan dalam penyelenggaraan Ketahanan Keluarga melalui Kebijakan Ramah Keluarga di lingkungan usahanya antara lain:
a. pengaturan aktivitas jam bekerja yang ramah keluarga;
b. dapat memberikan hak cuti melahirkan selama 6 (enam) bulan kepada pekerjanya, tanpa kehilangan haknya atas posisi pekerjaannya;
c. penyediaan fasilitas fisik dan nonfisik di lingkungan usahanya untuk mendukung pekerja perempuan dalam menjalankan fungsinya sebagai ibu;
d. penyelenggaraan aktivitas bersama berupa pertemuan keluarga di lingkungan usahanya;
e. berpartisipasi dalam penyelenggaraan Ketahanan Keluarga melalui kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan;
f. memberikan kesempatan bagi karyawannya untuk mengikuti bimbingan pra perkawinan, pemeriksaan kesehatan pra perkawinan, mendampingi istri melahirkan, dan/atau menjaga Anak yang sakit.
Sementara, saat ini aturan mengenai cuti melahirkan dan menyusui bagi istri yang bekerja terdapat pada pasal 82 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003.
"Pekerja wanita berhak atas istirahat selama 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter atau bidan,".