Imlek 2020
Gus Dur, Kemeriahan Imlek dan Gelar Bapak Tionghoa Indonesia
Gus Dur memiliki andil cukup besar hingga akhirnya etnis Tionghoa di Indonesia dapat merayakan Imlek secara bebas.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Perayaan Tahun Baru Imlek yang juga dikenal sebagai Tahun Baru China 2571 tak lepas dari sosok Presiden Keempat RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Gus Dur memiliki andil cukup besar hingga akhirnya etnis Tionghoa di Indonesia dapat merayakan Imlek secara bebas.
Sebab pada era Orde Baru, di bawah kepemimpiman Presiden Soeharto, masyarakat Tionghoa dilarang merayakan Imlek secara terbuka.
Larangan itu tertuang pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China.
Dalam aturan itu, Soeharto menginstruksikan agar etnis Tionghoa yang merayakan pesta agama atau adat istiadat "tidak mencolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga."
Baca: 5 Fakta Unik Ikan Dewa yang Diburu Tiap Jelang Imlek: Kepala Mirip Ikan Mas, Badan Seperti Arwana
Sementara itu, kategori agama dan kepercayaan China ataupun pelaksanaan dan cara ibadah dan adat istiadat China itu diatur oleh Menteri Agama setelah mendengar pertimbangan Jaksa Agung. Imlek dan Cap Go Meh kemudian masuk dalam kategori tersebut.
Dalam artikel Kompas.com berjudul "Peran Gus Dur di Balik Kemeriahan Imlek..." yang diterbitkan pada 30 Januari 2017 lalu, dijelaskan Gus Dur termasuk sosok yang tidak suka diskriminasi terhadap etnis Tionghoa.
Dia juga orang pertama yang menyelesaikan masalah diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia.
Melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000, Gus Dur menyudahi satu permasalah diskriminasi pada etnis Tionghoa hingga akhirnya mereka bisa merayakan Imlek secara bebas dan terbuka.
Baca: Diburu Menjelang Imlek: Ikan Dewa Namanya, Harganya Bisa Tembus Rp 1 Juta Per Kilo
Keppres tersebut mematahkan aturan dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China.
Dilansir dari harian Kompas, Sekretaris Dewan Rohaniwan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia Budi Tanuwibowo masih ingat kejadian yang melatarbelakangi pencabutan inpres tersebut. Prosesnya terbilang cepat, malah membuat Budi kaget dengan sikap Gus Dur itu.
"Waktu itu, kami ngobrol sambil berjalan mengelilingi Istana. Gus Dur lalu bilang, oke, Imlek digelar dua kali, di Jakarta dan Surabaya untuk Cap Go Meh. Kaget juga saya," kata Budi, dikutip dari harian Kompas yang terbit 7 Februari 2016.
Baca: Resep Makanan saat Imlek yang Mudah Dimasak: Capcay Tahu Goreng hingga Ayam Goreng Lada Garam
Rencana perayaan Imlek dan Cap Go Meh itu tentu saja terhambat Inpres Nomor 14/1967 yang saat itu masih berlaku.
Namun, dengan spontan, Gus Dur berkata, "Gampang, inpres saya cabut."
Pencabutan pun dilakukan dengan penerbitan Keppres Nomor 6/2000.
Keppres itu kemudian menjadikan etnis Tionghoa mulai merayakan Imlek secara terbuka.
Kemeriahan pun terlihat di perayaan Imlek, yang saat itu ditandai sebagai tahun Naga Emas.
Ornamen naga, lampion, dan angpau ikut terlihat terpasang indah di sejumlah pertokoan. Atraksi barongsai menjadikan perayaan Imlek semakin ceria.
Baca: 16 Fakta Unik Tahun Baru Imlek 2020, Termasuk Ada Larangan Mencuci dan Membuang Sampah
Akan tetapi, perayaan Imlek sebagai hari nasional baru dilakukan dua tahun sesudahnya, pada era Presiden Megawati Soekarnoputri.
Megawati menyampaikan penetapan tersebut saat menghadiri Peringatan Nasional Tahun Baru Imlek 2553 pada 17 Februari 2002.
Penetapan Imlek sebagai hari libur nasional baru dilakukan pada 2003.
Dalam Artikel Kompas berjudul Presiden Tetapkan Imlek Hari Nasional," Megawati menyampaikan penetapan tersebut saat menghadiri Peringatan Nasional Tahun Baru Imlek 2553 di Hall A Pekan Raya Jakarta, Kemayoran.
Dalam pidato di luar teks, Presiden Megawati mengatakan bahwa dirinya menangkap aspirasi yang berkembang di masyarakat Khonghucu.
"Tadi saya tahu panitia dan pengurus memberikan suatu sindiran supaya Tahun Baru Imlek dijadikan hari nasional. Demi kebersamaan kita sebagai warga dan bangsa, dengan ini saya nyatakan Tahun Baru Imlek sebagai hari nasional," kata Megawati saat itu.
Meski demikian, bukan berarti diskriminasi terhadap etnis Tionghoa hilang.
Pada 2004, Gus Dur pun mengakui masih ada ribuan peraturan diskriminatif yang belum dicabut.
"Masih ada 4.126 peraturan yang belum dicabut. Misalnya, soal SBKRI. Itu kan sesuatu yang tidak ada gunanya," kata Gus Dur dikutip dari harian Kompas yang terbit pada 11 Maret 2004.
"Di mana-mana di dunia, kalau orang lahir ya yang dipakai akta kelahiran, orang menikah ya surat kawin, tidak ada surat bukti kewarganegaraan. Karena itu, saya mengimbau kawan-kawan dari etnis Tionghoa agar berani membela haknya," ujar dia.
Baca: 8 Hidangan Khas Imlek dan Maknanya, Ayam Kodok jadi Simbol Keberuntungan
Gus Dur pun berharap semua elemen bangsa memberikan kesempatan kepada masyarakat Tionghoa dalam kehidupan bermasyarakat.
"Mereka adalah orang Indonesia, tidak boleh dikucilkan hanya diberi satu tempat saja. Kalau ada yang mencerca mereka tidak aktif di masyarakat, itu karena tidak diberi kesempatan," ucap Gus Dur.
"Cara terbaik, bangsa kita harus membuka semua pintu kehidupan bagi bangsa Tionghoa sehingga mereka bisa dituntut sepenuhnya menjadi bangsa Indonesia," ujar tokoh Nahdlatul Ulama itu.
Gus Dur Dapat Gelar Bapak Tionghoa Indonesia
Atas kebijakan dan pemikirannya yang terbuka, Gus Dur pun mendapat gelar sebagai "Bapak Tionghoa Indonesia".
Bagi kaum Tionghoa, Gus Dur dinilai telah menghapus kekangan, tekanan, dan prasangka.
Baca: Jelang Imlek, BPPT Modifikasi Cuaca Antisipasi Curah Hujan Lebat di Jabodetabek
Pada masa lalu, kaum Tionghoa kerap mendapati stigma buruk, baik dari Pemerintah Indonesia, maupun masyarakat pada umumnya.
Gus Dur juga dinilai telah berjasa menjadikan semua warga negara menjadi setara.
Dalam artikel Kompas.com berjudul "Ini Alasan Gus Dur Diberi Gelar "Bapak Tionghoa Indonesia," yang terbit pada 23 Agustus 2014, dijelaskan, penghormatan terhadap Gus Dur diberikan dalam bentuk Sinci papan penghargaan yang akan dipasang di klenteng tersebut.
Apa alasan Gus Dur dianugerahi penghargaan tersebut?
Dalam Talk Show "Makna Peletakan Sinci Gus Dur" di Gedung Rasa Dharma Semarang, Sabtu (23/8/2014) malam, Sugiri Kustejo, akademisi sekaligus tokoh Tionghoa memberikan alasan mengapa Gus Dur layak diberikan Sinci.
Baca: 6 Hal yang Tak Boleh Dilakukan saat Imlek, Termasuk Memberi Hadiah Jam dan Menyapu Rumah
Bagi kaum Tionghoa, Gus Dur dinilai telah menghapus kekangan, tekanan dan prasangka.
Semasa lalu, kaum Tionghoa kerap mendapati stigma buruk baik dari pemerintah Indonesia, maupun masyarakat pada umumnya.
Stigma itu misalnya, dalam bentuk keburukan yang menimpa masyarakat, kaum Tionghoa jadi tumbal.
"Dulu, semua keburukan dilimpahkan ke kami, barang mahal, kami yang disalahkan. Kalau masyarakat gagal panen, kami juga disalahkan," kata Sugiri Kustejo.
Gus Dur juga dinilai telah berjasa menjadikan semua warga negara menjadi setara. Dia merinci bagaimana sulitnya dulu kaum Tionghoa diberi kode tertentu.
"Ketika mengurus surat, karena ada kodenya, ada tarif khusus dan saya harus membayar lebih," paparnya.
Selain dua unsur tersebut, Gus Dur telah mengembalikan kebebasan berekspresi.
Baca: Imlek 2020 Makin Dekat, Simak 3 Cara Mengolah Kue Keranjang jadi Lebih Variatif
Dalam hal ini, semua yang berkaitan dengan kebudayaan dibebaskan oleh Gus Dur.
Penggunaan bahasa Mandarin, lanjutnya, juga diperbolehkan bersandingan dengan kebolehan belajar menggunakan bahasa Inggris, maupun Arab.
"Gus Dur secara singkat membalikkan semua itu. Beliau juga mengembalikan nama asli kami. Dia meminta agar kaum Tioghoa bisa menggunakan nama lama kami. Gus Dur itu memang toleran dan menerima perbedaan," lanjutnya.
Selain hal tersebut, Gus Dur berjasa menjalankan kepercayaan tradisional dan menumbuhkembangkan budaya tersebut.
Penghormatan pada Gus Dur dilakukan dengan peletakan Sinci masuk dalam latar tradisional Tionghoa.
Komunitas ini mewajibkan untuk menghormati orang tua, leluhur baik ketika masih hidup, maupun meninggal dunia.
Baca: Ramalan Shio Babi Jelang Imlek di Tahun Tikus Logam 2020: Shio Babi Terlibat Cinta Pandangan Pertama
"Kami ingin menghormati jasa-jasa Gus Dur baik ketika masih hidup dulu. Kalau sudah diberikan Sinci, namanya tentu akan selalu didoakan oleh komunitas Tionghoa," tambahnya.
Sinci pada Gus Dur akan diberikan dalam rangkaian sembahyang King Hoo Ping yang merupakan tradisi penghormatan dan bakti kepada orang-orang yang telah meninggal.
Sinci akan diletakkan dalam altar utama gedung perkumpulan Boen Hian Tong. Penghormatan ini merupakan bakti kepada arwah leluhur dan arwah umum di bulan ketujuh atau Jit Gwee.(*)