Komisioner KPU Terjaring OTT KPK
Wahyu Setiawan Diberhentikan, Wakapus Kajian Pemilu & Parpol Fisip UI: Harus Dilaporkan Secara Tepat
Pemberhentian Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan menuai berbagai komentar, ia terbukti melanggar sumpah jabatan dan kode etik.
TRIBUNNEWS.COM - Pemberhentian Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan menuai berbagai komentar.
Diketahui, Wahyu Setiawan terbukti melanggar sumpah jabatan dan kode etik penyelenggara Pemilu.
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) dalam sidang putusan mengungkapkan, ketua KPU dan anggota KPU lainnya diduga membiarkan Wahyu Setiawan bertemu politisi PDI-Perjuangan.
Hal itulah yang diduga membuat Wahyu Setiawan melanggar Peraturan KPU dan Kode Etik.
DKPP juga mengungkapkan KPU tidak bersedia memberikan notulensi kepada DKPP terkait pembahasan penetapan Caleg DPR-RI terpilih PDI-P Dapil Sumatera Selatan I.

Wakapus Kajian Pemilu dan Parpol Fisip Universitas Indonesia (UI), Mulyadi angkat bicara.
Menurutnya tindakan KPU yang menolak memberikan notulen di dalam permintaan resmi, DKPP itu pelanggaran etik.
Tindakan KPU yang menolak memberikan Notulen dalam permintaan resmi dinilai Mulyadi melanggar kode etik.
"Dan itu harus dilaporkan secara tepat. Bawaslu harus melaporkan itu," kata Mulyadi yang dikutip melalui tayangan YouTube Metro Tv, Jumat (17/1/2020).
Ia menuturkan, menurutnya pimpinan KPU yang lain melakukan pembiaran terkait masalah Wahyu Setiawan ini.
"Artinya ini Bawaslu harus memastikan itu, Ketua KPU itu mengetahui pertemuan tapi mendiamkan," terangnya.
Padahal, kata Mulyadi, semua sudah di atur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).
"Bawaslu seharunya itu sudah bergerak itu, karena itu menyanggkut PKPU, ada yang dilanggar," tegasnya.
DKPP Berhentikan Wahyu Setiawan
Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKS Mardani Ali Sera angkat bicara.
Ia mengapresiasi putusan DKPP yang memberhentikan tetap Wahyu Setiawan dari jabatan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.
"Kita apresiasi DKPP yang bergerak cepat. Karena tugasnya memang menjaga etika penyelenggara pemilu," ujar Ketua DPP PKS ini saat ditemui Tribunnews.com di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (17/1/2020).
Keputusan DKPP itu kata Mardani Ali, memudahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk segera menindaklanjutinya dengan mengeluarkan surat pemberhentian dan pengangkatan penggantinya.
"Karena sudah ada daftarnya maka tinggal menentukan," jelas Mardani Ali Sera.

Berdasarkan aturan, dia menjelaskan, pengganti Wahyu Setiawan adalah berdasarkan peringkat terbanyak perolehan suara pada pemilihan anggota KPU RI tahun 2017 silam.
Kala itu, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi berada di posisi ke-8 dengan perolehan 21 suara.
Suara I Made berada persis di bawah Arief Budiman yang kumpulkan 30 suara.
Karena itu menurut Mardani, Presiden Jokowi tinggal menentukan saja pengganti Wahyu Setiawan untuk menjadi Komisioner KPU.
"Catatan saya untuk pengganti Mas Wahyu adalah jaga kepercayaan ini dengan kokoh," terangnya.
"Ingat ratusan juta pemilih yakin kredibilitas pemilu ada di tangan komisioner KPU," ucapnya.
Tim Hukum PDI Perjuangan Melapor ke Dewas
Tim Hukum PDI Perjuangan sempat menemui dan melapor ke Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pertemuan itu terkait aksi penyelidik yang hendak menyegel kantor DPP PDIP.
Kantor itu diduga berhubungan dengan kasus suap Komisioner KPU Wahyu Setiawan.
Terkait hal itu, Ketua KPK Komjen Pol Firli Bahuri menegaskan seluruh aktivitas yang dilakukan oleh pihaknya sudah sesuai peraturan perundang-undangan.
"Begini, sebenarnya itu tidak ada (tim hukum PDIP) melaporkan KPK (ke Dewas KPK). Semua aktivitas yang dilakukan oleh kami adalah sesuai peraturan perundang-undangan," ujar Firli, ketika menghadiri acara Buka Tahun Baru Bersama ke-15 tahun 2020 oleh Paguyuban Wartawan Katolik Indonesia (PWKI) di Gedung Dwi Warna Lemhannas, Jakarta Pusat, Jumat (17/1/2020).

Mantan Kabaharkam tersebut mengatakan apabila ada pihak-pihak yang merasa tidak puas dengan kinerja lembaga antirasuah maka dapat melaporkannya sesuai yang diatur dalam perundang-undangan.
Diwartakan Tribunnews sebelumnya, Firli mencontohkan seandainya ada pegawai KPK yang mungkin dianggap melakukan kesalahan atau pelanggaran, maka dapat dilaporkan ke Dewas KPK.
"Kalaupun ada yang ingin melaporkan tentu ada mekanisme kepada Dewan Pengawas. Kan ada Dewan Pengawas KPK yang menilai, jadi bukan saya," kata Firli.
Sebelumnya diberitakan, KPK tak akan memberikan sanksi kepada penyelidik yang hendak menyegel kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pada Kamis (9/1/2020) lalu.
Permintaan untuk memeriksa penyelidik KPK itu datang dari Tim Hukum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan setelah mengunjungi Dewan Pengawas KPK pada Kamis (16/1/2020) kemarin.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri menegaskan, penyelidik yang bertugas di kantor DPP PDIP sudah disertai surat tugas.
Maka dari itu mereka sudah bekerja sesuai Standar Operasional Prosedur.
"Iya (tak memberi sanksi), artinya memang secara aturan, secara hukum acaranya, memang sudah menjalankan tugas penyelidikan. Makanya itu sah, karena memang ada surat tugasnya," ujar Ali saat dimintai konfirmasi, Jumat (17/1/2020).

Seusai bertemu Dewas KPK yang diwakili Albertina Ho Kamis kemarin, Tim Hukum PDIP I Wayan Sudirta mengatakan tiga orang tim KPK yang bertandang ke kantor DPP PDIP berniat untuk menggeledah.
Ali pun membantah pernyataan tim kuasa hukum. Ia mengatakan tim KPK yang ke kantor DPP PDIP hanya membawa surat penyegelan.
Pasalnya, Ali menjelaskan, saat itu kasus suap pergantian antar waktu anggota Dewan Perwakilan Rakyat terpilih 2019-2024 masih dalam tahap penyelidikan.
Katanya, tak ada upaya penggeledahan melainkan hanya untuk menyegel.
"Jadi kami memastikan bahwa tim tidak mungkin membawa surat penggeledahan. Karena kita tahu sesuai hukum acara, surat penggeledagan adalah dilakukan ketika sudah proses penyidikan," jelasnya.
"Jadi sekali lagi kami pastikan, itu bukan surat penggeledahan, tapi surat tugas penyelidikan pada saat itu," tukas Ali.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani/Srihandriatmo Malau/ Vincentius Jyestha Candraditya)