Rabu, 1 Oktober 2025

Kabut Asap

Begini Penampakan Kalimantan dari Satelit NASA saat Diselimuti Kabut Asap dan Karhutla

Berikut penampakan Kalimantan yang direkam satelit NASA saat diselimuti kabut asap dan kebakaran hutan dan lahan.

Penulis: Citra Agusta Putri Anastasia
earthobservatory.nasa.gov
Berikut penampakan Kalimantan yang direkam satelit NASA saat diselimuti kabut asap dan kebakaran hutan dan lahan. 

Peta diperoleh dari model GEOS forward processing (GEOS-FP) yang mengasimilasi informasi dari satelit, pesawat, dan sistem pengamatan berbasis darat.

GEOS-FP berfungsi untuk mengamati aerosol (seperti asap dan kabut) dan kebakaran.

GEOS-FP juga mencerna data meteorologi seperti suhu udara, kelembaban, dan angin untuk diproyeksikan dalam bentuk peta.

Berdasarkan tangkapan GEOS-FP, asap relatif tetap menyelubungi langit Kalimantan dengan sumber api yang terlihat di Kalimantan dan Sumatera.

Berdasarkan amatan International Forestry Research’s Borneo Atlas, banyak kebakaran terjadi di atau dekat daerah-daerah dengan lahan gambut.

Kebakaran gambut cenderung sulit dipadamkan.

Lantas, kebakaran tersebut awalnya terjadi di bawah permukaan tanah selama berbulan-bulan hingga musim hujan tiba.

f
Penampakan Indonesia dari satelit NASA, Selasa (17/9/2019) akibat karhutla. (earthobservatory.nasa.gov)

Kebakaran gambut melepaskan sejumlah besar gas dan partikel, termasuk karbon dioksida, metana, dan partikel halus.

Karbon dioksida dan metana adalah gas rumah kaca yang potensial menyebabkan global warming.

Sementara itu, campuran partikel halus memiliki efek kesehatan negatif.

Melihat kabut asap dan karhutla di Indonesia, ilmuwan NASA Goddard Institute for Space Studies, Robert Field, telah melacak perkembangan musim kebakaran di Indonesia.

“Kebakaran benar-benar menjadi pusat masalah sekarang. Ini mengingatkan kita pada 2015, meskipun penumpukan asap yang berlanjut selama beberapa minggu karena hujan pada pertengahan Agustus,” kata Field, dikutip dari earthobservatory.nasa.gov.

Field juga mengemukakan, karhutla yang terjadi di Indonesia kali ini mengingatkan pada dua kebakaran besar terakhir lainnya di Tanah Air, yakni pada 1997 dan 2015.

Kala itu, El Nino menyebabkan kekeringan yang berujung pada kebakaran.

Pada 2019, kondisi El Nino netral, tetapi osilasi suhu permukaan laut yang disebut Dipole Samudera Hindia tampaknya bertanggung jawab atas kekeringan tahun ini.

Halaman
1234
Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved