HUT Kemerdekaan RI
Sampaikan Pesan Kebangsaan, GAMKI Beri Catatan Penting soal Refleksi HUT Ke-74 RI
Kemerdekaan Indonesia adalah buah dari perjuangan berdarah-darah semua anak bangsa yang berlatar belakang agama, suku, dan etnis yang berbeda.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kemerdekaan Indonesia bukan perjuangan satu agama, suku, atau kelompok tertentu dan bukan penyerahan dari pihak manapun.
Kemerdekaan Indonesia adalah buah dari perjuangan berdarah-darah semua anak bangsa yang berlatar belakang agama, suku, dan etnis yang berbeda.
Pesan Kebangsaan tersebut disampaikan DPP Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) dalam rangka Refleksi HUT ke-74 Republik Indonesia.
Ketua Umum GAMKI terpilih, Willem Wandik mengatakan kemerdekaan adalah perjuangan melawan kolonialisme yang menindas dan merampas hak asasi manusia.
Kemerdekaan atas penindasan hak asasi manusia justru paradoks dengan keadaan sekarang pada 74 tahun kemerdekaan Republik Indonesia.
“Kemerdekaan ini ternyata masih menyisakan jejak dan mental kolonialisme atas sesama anak bangsa,” kata dia di Jakarta, Jumat (16/8/2019).
Willem memaparkan, penindasan antar sesama anak bangsa itu terbukti dari kasus-kasus intoleran antara lain pelarangan dan penutupan rumah ibadah.
Kejadian seperti penutupan beberapa gereja di Jambi, ataupun yang masih baru terjadi adalah penutupan rumah ibadah di Indragiri Hilir, Riau.
“Perbedaan agama tidak lagi dilihat sebagai kekuatan persatuan melainkan dianggap sebagai musuh yang harus dilawan,” jelas dia.
Di sisi lain, lanjut Willem, alat pelayanan negara digunakan oleh kelompok intoleran sebagai alat melegitimasi kebijakan diskriminatif untuk menghadang pendirian rumah ibadah, bahkan tidak segan menyegel atau menutup rumah ibadah.
Hal senada diungkapkan Sahat Martin Philip Sinurat, Sekum DPP GAMKI Terpilih.
Sahat memaparkan, alat pelayanan publik juga melakukan tindakan represif terhadap masyarakat Nduga di Papua selama sembilan bulan.
Upaya penertiban keamanan terhadap KKB, justru berdampak kepada masyarakat yang tidak berdosa.
“Akibatnya, 182 orang mati sia-sia, 44 ribu rakyat Papua meninggalkan tanah mereka. Kondisi yang jauh dari liputan media dan perhatian pemerintah, mengindikasikan bahwa negara gagal mengurus warganya sesuai amanat UUD 1945.
Menurut alumni ITB tersebut, harusnya persoalan intoleran dan diskriminatif ini dapat diselesaikan dalam lima tahun periode kedua Presiden Joko Widodo.
Pasalnya, Jokowi dikenal sebagai pribadi dan pemimpin yang nasionalis-Pancasilais serta mampu merangkul sesama warga negara, termasuk masyarakat termarjinalkan.
“Selain itu Jokowi juga didukung partai-partai koalisi yang nasionalis-Pancasilais, sehingga kasus intoleran dan diskriminasi kami harapkan bisa diselesaikan di tingkat legislatif dan eksekutif, baik di pusat maupun daerah,” beber dia.
Sahat menegaskan, bila persoalan diskriminasi dan intoleransi ini tidak bisa diselesaikan dalam lima tahun ke depan, maka pihaknya pesimis dan ragu, akan ada pemimpin di masa depan yang mampu menyelesaikan berbagai persoalan ini.
“Maka kami sangat berharap dan mendesak pemerintahan Jokowi dapat menyelesaikan persoalan-persoalan diskriminatif dan intoleran yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia,” cetus dia.
“Selamat merefleksikan Hari Ulang Tahun ke-74 Republik Indonesia. Semoga kemerdekaan yang hakiki dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia,” pungkasnya.