Pengamat: e-Rekap Bisa Persempit Ruang 'Bermain' dalam Pemilu
Ketua KODE Inisiatif, Veri Junaidi mengatakan penggunaan e-rekap pada Pilkada 2020 tidak akan begitu saja menghilangkan kecurangan Pemilu.
"Kemajuan teknologi ini mau tidak mau kita hadapi dan kita adopsi. Kita tidak bisa terus menerus menggunakan sistem yang lama," terang Pramono dalam diskusi di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (31/7/2019).
Baca: Ruben Onsu Angkat Betrand Peto Jadi Putranya, Suami Sarwendah Tak Lagi Idamkan Anak Laki-laki
Baca: 18 Belasan Warga Pakistan Dilaporkan Meninggal Tertimpa Pesawat Militer yang Jatuh di Permukiman
Baca: Kepala Kejaksaan Negeri Semarang Diperiksa Kejaksaan Agung
Baca: Peringatan Dini BMKG Besok, Kamis 1 Agustus 2019: Cuaca Buruk dan Gelombang Tinggi Landa Indonesia
KPU sendiri juga sudah mewacanakan penerapan sistem rekapitulasi hasil suara alias e-rekap untuk Pilkada 2020 mendatang.
Pramono mengatakan pihaknya sedang menakar dan memperhitungkan peluang penggunaan e-rekap untuk penyelenggaraan Pemilu ke depan.
Tapi meski sudah melempar wacana ini, KPU tak mau terburu-buru menerapkannya pada skala nasional.
Dari 270 daerah yang bakal menjalani Pilkada, satu atau beberapa daerah akan ditunjuk sebagai pilot project penerapan e-rekap.
Sebelum itu, KPU bakal terlebih dulu memperbanyak sosialisasi yang melibatkan publik supaya mereka paham dan terdidik bagaimana sesungguhnya proses penghitugan suara elektronik ini.
"Ini harus diperbanyak dan wacana diperbanyak ke publik. Karena saat Pemilu lalu, ada publik yang nggak percaya. Kalau legitimasi masih rendah, maka maknanya kurang baik. Di sisi lain kita buat kesadaran publik bahwa sistem ini reliable," ungkap Pramono.
Tenologi Indonesia mampu
Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mewacanakan bakal menggunakan sistem elektronik untuk rekapitulasi hasil Pilkada 2020 mendatang.
Komisioner KPU RI Pramono Ubaid percaya teknologi yang dimiliki Indonesia sudah mampu menjalankan e-rekap.
"Saya percaya kalau secara teknologi kita akan mampu," kata Pramono dalam diskusi di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (31/7/2019).
Namun, ada potensi permasalahan yang diperkirakan akan timbul seiring dengan sistem rekap elektronik ini diberlakukan.
Baca: Tokoh di Balik Konflik Nduga, Siapa Sebenarnya Egianus Kogoya?
Pramono menganalogikan, sistem e-rekap ini layaknya teknologi pembangkit listrik tenaga nuklir. Meski diyakini mampu memproduksi listrik dalam negeri, namun publik ramai-ramai menolak karena mempertimbangkan bahaya radiasi yang mungkin ditimbulkan.
"Ini persis sama dengan pembangkit listrik tenaga nuklir. Kita sangat mampu, tapi orang akan ramai-ramai menolak, ini bahaya radiasi segala macem," jelas dia.
Pramono juga tak menampik, masih banyak masyarakat yang belum percaya sepenuhnya terhadap penghitungan suara lewat teknologi.
Kekhawatiran itu semisal, apakah suara yang telah mereka salurkan pada hari pemungutan suara, bakal sampai pada proses penghitungan dan sebagainya.
Baca: Warga Diimbau Tak Mendekati Sumur Tua yang Semburkan Gas di Peureulak Timur