Soal Koalisi, Tokoh Senior Demokrat Nilai Tak Bisa Semua Parpol Dukung Pemerintah
"Memang tidak ada oposisi di negara dengan sistem presidensil. Namun apalah namanya, pemerintah perlu dikontrol dan lembaga itu harus ada," kata Max
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Taufik Ismail
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat Max Sopacua mengatakan meski tidak ada oposisi dalam pemerintahan dengan sistem presidensial, namun perlu ada partai yang berperan menjadi penyeimbang untuk mengontrol pemerintahan.
"Memang tidak ada oposisi di negara dengan sistem presidensil. Namun apalah namanya, pemerintah perlu dikontrol dan lembaga itu harus ada," kata Max Sopacua dalam pernyataan tertulisnya, Senin, (29/7/2019).
Baca: Gerindra Gabung Koalisi Jokowi Bukan Incar Menteri Tapi Pilpres 2024

Menurut Max Sopacua, rakyat tidak bisa mengontrol pemerintah tanpa adanya saluran, dan saluran yang ada sekarang ini adalah partai politik.
Sehingga menurutnya, apabila semua partai masuk ke dalam koalisi pemerintah, maka tidak ada saluran bagi rakyat untuk melakukan pengawasan atau kontrol.
"Apakah rakyat harus gigit jari menyesali dukungan yang diberikan saat pemilu dengan seribu janji memperjuangkan keinginan rakyat ?" katanya.
Menurut Max Sopacua, negara tidak bisa jalan bila hanya berlandasakan kepentingan politik kekuasaan.
Seperti yang terjadi sekarang ini, di mana Parpol berlomba-loba masuk ke dalam kekuasaan Pascapemilu Presiden 2019.
Baca: Akbar Tandjung: Jokowi Masih Mungkin Rekrut Menteri dari Luar Partai Koalisi
Padahal menurutnya, partai koalisi pendukung pemerintah menolak adanya partai di luar koalisi yang masuk ke dalam pemerintahan.
"Warisan terbesar dari politik adalah Kekuasaan. Ini kita buktikan dengan bagaimana parpol-parpol berusaha mendapat kursi-kursi menteri di kabinet dalam koridor kekuasaan," katanya.
PKS tidak tertarik
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menegaskan tidak tertarik untuk bergabung ke koalisi pemerintah Joko Widodo (Jokowi)-Maruf Amin.
PKS akan tetap berada di luar pemerintah atau oposisi.
"Semua partai punya kebebasan memutuskan langkah politik masing-masing. Saya pribadi selalu berpendapat, koalisi pendukung Prabowo sesuai etika dan logika publik menjadi #KamiOposisi. PKS insya Allah istiqomah. Walau keputusan akhir ada di Musyawarah Majelis Syuro," ujar Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera kepada wartawan, Minggu (28/7/2019).
Hal ini menanggapi pernyataan Kepala Staf Presiden, Moeldoko bahwa setelah Tim Kampanye Nasional (TKN) Koalisi Indonesia Kerja (KIK) dibubarkan maka akan ada koalisi plus-plus.
Sikap PKS berada di luar pemerinahan itu dia yakin akan diikuti oleh partai politik lainnya.
"PKS yakin insya Allah akan bersama dengan banyak pihak di #KamiOposisi," tegas Wakil Ketua Komisi II DPR RI ini.

Apalagi, bila koalisi pemerintah gemuk, maka akan ada partai di kubu Jokowi yang kecewa, sehingga kemudian berbalik menjadi oposisi.
"Parpol dan para penggiat demokrasi akan mendukung #KamiOposisi. Belum lagi peluang koalisi Pak Jokowi yang kecewa dengan pembagian kue," jelas Mardani Ali Sera.
PKB Syaratkan 6 Hal
Sementara itu, Ketua DPP PKB Lukman Edy angkat bicara mengenai pernyataan Kepala Staf Presiden, Moeldoko bahwa setelah Tim Kampanye Nasional (TKN) Koalisi Indonesia Kerja (KIK) dibubarkan maka akan ada koalisi plus-plus dengan tambahan partai pendukung Prabowo-Sandi.
Menurut Edy, boleh boleh saja partai pendukung Prabowo-Sandi, masuk ke dalam kaolisi pemerintah Hanya saja partai tersebut harus terlebih dahulu menunjukkan bukti niat bergabung ke koalisi.
"Supaya tidak terkesan hanya dagang sapi berharap pembagian kursi kekuasaan. Kalau niat membangun koalisi hanya berdasar kepada kepentingan pragmatis seperti itu, bukan hanya PKB yang menolak tetapi masyarakat juga akan sinis," katanya, Jumat, (26/7/2019).

Niat yang harus ditunjukkan tersebut menurut Edy, pertama yakni, tidak mengulang kembali narasi-narasi yang berbau fitnah.
"Yang kedua menyatakan komitmen untuk tidak menggunakan politik identitas dalam membangun demokrasi kita," katanya.
Ketiga ia mengatakan partai tidak memberikan tempat kepada kekuatan intoleransi dan radikal, sekaligus menyatakan ikut bertanggung jawab mengikis semua potensi intoleransi dan radikalisme.
"Lalu, mau menjalankan semua visi dan misi ‘Indonesia Maju’ tanpa reserve," katanya.
Kelima, partai tersebut harus menunjukkan komitmen soliditas selama 5 tahun pemerintahan kedepan.
"Menertibkan semua pendukung yang belum ‘move on’, menghadapi kenyataan kemenangan Jokowi dan Makruf Amin dalam pilpres 2019 kemarin," jelasnya.
Pernyataan Moeldoko

Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Moeldoko melihat bisa saja ke depan partai politik pendukung Jokowi-Ma'ruf akan bertambah, dari saat ini sembilan partai politik.
Ia menjelaskan, sampai saat ini partai koalisi pendukung Jokowi terbangun cukup baik, sehingga ke depan bisa saja mengalami penambahan dukungan partai politik yang sebelumnya berada di luar.
"Bahkan koalisi itu bisa plus-plus, kan gitu. Jadi bukan hotel aja yang plus-plus. Ya bisa aja koalisi yang kemarin terbangun, lalu ada tambahan lagi, itu namanya plus-plus," tutur Moeldoko di komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (25/7/2019).
Mantan Panglima TNI itu menyebut politik itu dinamis dan semuanya mungkin saja terjadi. Namun, dirinya belum dapat memastikan ada berapa tambahan partai politik yang akan masuk.
"Plusnya berapa nanti kita lihat. Ada kalkulasi politik sendiri tapi bisa dihitung lah," papar Moeldoko.
Mantan Panglima TNI itu pun menyampaikan partai koalisi tidak ada yang permanen dan hal ini berdasarkan kajian di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas).
"Politik ya begitu, maksudnya tidak ada sesuatu yang permanen, semuanya sangat dinamis dan selalu mencari keseimbangan baru, rumus politik sudah seperti itu," pungkasnya.
Baca: Pemerintah Kembangkan Obor Pangan Lestari di 2.300 Titik
Baca: Kabar Ayah Kandung Nagita Slavina, Gideon Tengker, Potret Baru Panen Komentar, Lihat Wajah & Gayanya
Baca: Makin Mesra dengan Roger Danuarta, Tanda-tanda Segera Dinikahi?Cut Meyriska Malah Bilang Hoax