Kado Anak Negeri untuk Sang Presiden, Memupuk Kesadaran Kebangsaan Dalam Bingkai Ketuhanan
Ide serta klaim merasa paling benar inilah yang kerap menjadi fenomena di republik ini. Dan celakanya justru
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ide serta klaim merasa paling benar inilah yang kerap menjadi fenomena di republik ini. Dan celakanya justru dilakukan oleh para pemuka atau mereka-mereka yang semestinya bertindak menjadi pencerah. Oleh karenanya butuh Pencerah yang kembali ke fitrahnya, pencerah yang Cinta Tanah Air, yang mampu menjadi pembimbing ummat, membuka wawasan untuk tidak berfikir serta bersikap picik dalam menjalankan fungsi dan perannya. Pencerah yang selalu memupuk kesadaran kebangsaan dalam bingkai ketuhanan.

Demikianlah intisari dari Dialog Kebangsaan, "Memupuk Kesadaran Kebangsaan dalam Bingkai Ketuhanan", sebagai Kado Anak Negeri untuk Sang Presiden, yang digelar Yayasan Nirmana Bumi Sahaja di Merak Room Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Senin (11/02/2019).
Sebuah dialog kebangsaan yang diambil dari buku "Kado Anak Negeri untuk Sang Presiden" (Membongkar Berhala Sosial Politik di Era Indonesia Modern), karya Prof. Dr. Bambang Saputra SH,MH, dengan menghadirkan Prof. Dr. Ananda Faisar, SH, MH, Dr. Arrazy Hasyim MA, Kaspudin Noor, SH, Msi, Drs. H. Aminudin Yakub, MA, Vasco Ruseimy, ST, dan Jilal Mardani, serta dimoderatori Heri Suherman, SH.

Cinta Tanah Air adalah hak dasar dari Hak Asasi Manusia, namun perlu dilakukan dengan cara cara yang konstruktif untuk memperkuat ukhuwah sesama anak bangsa didalamnya. Ini yang dirasakan tengah tergregadasi menuju jurang perpecahan antar anak bangsa di republik ini. Inilah yang mengakibatkan kita berada dalam kondisi kritis penuh cobaan, lanjut Bambang.
Dalam dialog pun berkembang, dialektika soal Al Maidah dalam konteks politik praktis Indonesia serta isu suksesi Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Wakil Presiden yang terus dikaitkan dengan sesuatu yang kerap tidak mendasar, hoax dan tidak berpijak pada data data yang valid, kongkrit dan benar.

Tak heran bila kualitas politik pun menjadi memburuk akibat polarisasi dukungan politik tersebut. Politik yang beradab, santun dan konstruktif tak lagi bisa dihadirkan akibat agresivitas semacam itu. Dan klaim kebenaran sepihak dari manapun itu justeru menjadi sumber utama pelemahan kita sebagai bangsa.
"Diperlukan logika politik yang menggugah kesadaran dan penalaran akal budi. Selain diperlukan juga politik gagasan yang mampu mendorong ruang diskusi dan melakukan desakan untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik. Manusia harus menjalankan fungsi dan perannya sebagai khalifah (pemimpin; sejatinya pemimpin). Ia dibebani tanggungjawab memakmurkan bumi," jelas Bambang Saputra, seorang Guru Besar yang aktif di berbagai organisasi lintas profesi, baik di bidang spiritual, pendidikan, kesenian, dan kebudayaan, dalam bukunya.

Peran dan tanggungjawab besar harus disadari ada di pundak banyak pihak, mulai dari pemerintah yang sudah harus berpikir tentang cara mengajak para pimpinan ummat, pimpinan politik, ormas, pengusaha untuk bersama-sama dengan masyarakat menjalankan tugas dan fungsinya secara benar dan tepat tentang ayat, “Khalifah Tuhan di Muka Bumi.
Hadirnya Kado Anak Negeri untuk Sang Presiden, banyak diilhami dari berbagai gejala sosial yang mengarah pada ambruknya moralitas bangsa. Sejumlah elit politik di pusat maupun di daerah, saling berebut kekuasaan dengan cara saling sikut dan saling menjatuhkan.

Dengan mencintai tanah air dan menjaga kekayaan alam, ujar Bambang, adalah bagian dari penjelmaan kesadaran berketuhanan yang mendalam. Dan sebaik-baik kesadaran berketuhanan adalah terletak pada dalamnya cinta dan luasnya pengabdian untuk menjaga Tanah Air sendiri, pungkas Bambang Saputra, yang menamatkan studi S1 di Fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara tahun 2004. Sepuluh tahun kemudian masih di perguruan tinggi tersebut yang menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara -- Bambang meraih gelar Magister Hukum Islam (MHI) – S2 dengan predikat Yudisium Terpuji (cum laude).