Sabtu, 4 Oktober 2025

Tsunami di Banten dan Lampung

Ini Penyebab Tsunami Selat Sunda Tak Bisa Diprediksi

BMKG segera meminta PVMBG memantau ketat gunung tersebut sebagai antisipasi.

Editor: Hasanudin Aco
Tribunnews/JEPRIMA
Foto udara suasana desa Sambolo setelah diterjang Tsunami Selat Sunda Pandeglang, Banten, Senin (24/12/2018). Sejumlah bangunan tampak porak poranda setelah diterjang Tsunami Selat Sunda. (Tribunnews/Jeprima) 

Tsunami 'sudah diprediksi'
Pakar tsunami, Abdul Muhari, mengatakan potensi tsunami akibat erupsi atau longsoran Gunung Anak Krakatau sebetulnya bisa diprediksi dengan merujuk pada peristiwa tahun 1883.

Ketika itu erupsi besar Krakatau menghancurkan sepertiga badannya yang mengakibatkan tsunami.

"Yang sekarang massa gunung tidak sampai 30% dari besar Gunung Krakatau dulu. Tapi potensinya sama karena dia menyimpan tipe letusan yang sama dengan ibunya dulu. Ini yang sebenarnya saya warning ketika menulis opini di Kompas," ujar Abdul Muhari kepada BBC News Indonesia.

"Bahwa potensi bahayanya ada di situ dan itu bisa saja meletus kapan saja dan dengan mekanisme yang tidak kita duga," sambungnya.

Tak hanya itu, beberapa kajian ilmiah sebetulnya pernah menyebutkan potensi tsunami akibat letusan atau erupsi Gunung Anak Krakatau.

Salah satunya jurnal tahun 2012 yang berjudul Tsunami hazard related to a flank collapse of Anak Krakatau Volcano, Sunda Strait, Indonesia.

Sayangnya, kata Abdul Muhari, tak semua hasil penelitian dijadikan dasar pengambilan keputusan pemerintah pusat dan daerah.

"Artinya scientific based policy di Indonesia belum jalan sama sekali. Tapi kecenderungannya adalah meragukan dan menyalahkan hasil penelitian karena disebut menakut-nakuti iklim investasi. Ini yang salah kaprah," ungkapnya.

"Kalau di Jepang, pembangunan ekonomi sudah menyatu dengan mitigasi bencana. Itu yang dijual ke calon investor, bahwa kalau anda mau investasi sudah aman lho dari tsunami. Sementara di Indonesia, ketika disampaikan bahwa suatu daerah rawan tsunami, dibalikkan dengan mengatakan penelitian itu kurang valid. Paradigma ini mestinya diubah," sambung Abdul.

Itu mengapa, ia sangat menyayangkan lambannya respons pemerintah pusat maupun daerah dalam mengantisipasi bencana. Sementara ketika bencana itu terjadi, pemerintah menanggapinya dengan mengatakan "menjadikan peristiwa tersebut sebagai pembelajaran".

Persoalan lain, kata dia, Indonesia sama sekali tidak memiliki alat pendeteksi tsunami yang diakibatkan erupsi gunung api baik yang muncul di permukaan maupun di bawah laut. Padahal dari pengamatannya, ancaman serupa bisa terjadi di wilayah Indonesia bagian Timur seperti Maluku.

"Banda, Maluku, Maluku Utara, Ternate, Tidore, itu dibangun oleh gugusan gunung api bawah laut. Gunung Gamalama itu kan masih aktif dan itu potensinya untuk membangkitkan tsunami juga sama," jelasnya.

Salah satu alat yang ia sarankan untuk digunakan mendeteksi tsunami adalah wave gauge profiler yang ditanam di dasar laut. Negara yang menggunakan adalah Jepang. Dimana jarak 200 kilometer dari pantai terpasang demi mengukur tinggi gelombang di dasar laut.

Dibandingkan dengan buoy, menurutnya, wave gauge profiler lebih efektif. Sebab buoy kerap tidak berfungsi karena vandalisme dan tak terpelihara. Begitu pula dengan tidal gauge yang pemasangannya harus berada di pantai atau pelabuhan. Sehingga deteksi tsunami sudah pasti terlambat.

"Kita nggak bisa pakai buoy karena belum bisa menyelesaikan masalah sosialnya. Mau bikin 100 buoy, selama masalah sosial nggak selesai, akan hilang. Jadi cari alat yang tidak muncul di permukaan," jelasnya.

Halaman
123
Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved