ICW: Sanksi Hukum Belum Bikin Jera Para Kepala Daerah untuk Tidak Melakukan Korupsi
Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan hukuman terhadap kepala daerah belum menjerakan para kepala daerah dalam kasus korupsi.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan hukuman terhadap kepala daerah belum menjerakan para kepala daerah dalam kasus korupsi.
Hal ini dapat dilihat dari kencenderungan rendahnya vonis kepala daerah jika dibandingkan dengan tuntutan.
Selain itu ditemukan bahwa hukuman pidana tambahan yakni pencabutan hak politik masih minim dijatuhkan.
Demikian disampaikan anggota Divisi Investigasi ICW Wana Alamsyah, seperti dikutip Tribunnews.com dalam keterangan tertulis ICW, Rabu (19/12/2018).
Pemantauan dilakukan terhadap kasus korupsi kepala daerah yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Rentang kasus yang dipantau adalah sejak tahun 2004 – 2018.
"Sepanjang waktu tersebut, terdapat 104 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi," sebut Wana Alamsyah.
Baca: Data ICW: 104 Kepala Daerah Terjerat Korupsi, Sebanyak 29 Orang di Tahun 2018
ICW melakukan pemantauan dengan menelusuri putusan-putusan pengadilan yakni Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi (PT), hingga Mahkamah Agung (MA).
Pemantauan juga menggunakan sumber data sekunder seperti pemberitaan, informasi dalam laman resmi KPK, dan dokumen-dokumen lain yang memiliki kandungan informasi relevan.
"Putusan pengadilan tindak pidana korupsi terhadap kepala daerah yang terjerat kasus korupsi masih jauh dari ekspektasi publik. Rata-rata vonis hanya 6 tahun 4 bulan penjara atau tergolong dalam kategori sedang," jelasnya.
Selain itu ICW menilai KPK belum menuntut maksimal kepala daerah yang melakukan tipikor. Rata-rata tuntutan hanya 7 tahun 5 bulan penjara atau tergolong dalam
kategori sedang.
Dari total 86 kepala daerah yang menjadi terdakwa, hanya 5 orang yang divonis berat oleh pengadilan, yakni lebih dari 10 tahun.
Terdapat 37 kasus yang berkaitan dengan kerugian negara dengan nilai sebesar Rp 9,7 triliun.
Pengenaan pasal pencucian uang langka dilakukan oleh KPK. Dari 104 kasus yang ditangani, hanya 3 yang dikenakan pasal pencucian uang.
Lebih lanjut terkait uang pengganti yang dibebankan kepada terdakwa hanya sebesar Rp 396 miliar. Sedangkan nilai kerugian negara yang timbul sebesar Rp 9,7 triliun.
Selain itu KPK telah melihat kerusakan lingkungan sebagai bagian dari kerugian negara. Terdapat satu kasus dengan perhitungan kerugian ekologis sebesar Rp 2,7 triliun.
ICW juga melihat tidak banyak kepala daerah terdakwa tipikor yang dituntut dan divonis hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik.
"Tuntutan 37 persen atau 32 dari 86 terdakwa. Vonis, 30 persen atau 26 dari 86 terdakwa (hakim tidak selalu mengabulkan tuntutan pencabutan hak politik)," paparnya.
ICW juga mempertanyakan komitmen partai dalam turut memberantas korupsi kepala daerah. Karena partai masih saja mencalonkan mantan narapidana kasus korupsi sebagai kepala daerah.
Untuk itu ICW menilai MA harus mengeluarkan Surat Edaran kepada seluruh jajaran pengadilan agar dapat menghukum maksimal seluruh pelaku korupsi termasuk diantaranya kepala daerah.
Pun KPK harus memaksimalkan tuntutan yang meliputi pidana penjara, uang pengganti, dan pencabutan hak politik terhadap kepala daerah yang terjerat kasus korupsi.
Selain itu KPK harus fokus terhadap aspek perampasan aset dengan menggunakan pasal pencucian uang.
"Pemerintah dan DPR harus segera mensahkan RUU Perampasan Aset dan merevisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," tegasnya.
ICW mendesak KPK harus terus menyertakan aspek kerugian ekologis sebagai pertimbangan dalam
menghitung kerugian negara.
Ia juga meminta hakim perlu berinisiatif untuk menjatuhkan vonis berupa pidana tambahan pencabutan hak politik walaupun tanpa tuntutan yang diberikan oleh jaksa KPK.
Lebih jauh Partai politik juga perlu turut berkomitmen mendorong upaya pemberantasan korupsi kepala daerah dengan tidak kembali mencalonkan kepala daerah mantan narapidana dalam pilkada atau pemilu lainnya.
"Partai politik harus memperbaiki proses rekrutmen politik," jelasnya.(*)