Respon KPK atas Beredarnya RUU Penyadapan
KPK belum menerima secara resmi draf RUU Penyadapan yang beredar tersebut. Namun sekitar Juni 2018, KPK pernah diundang oleh Kementerian Hukum dan HAM
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Juru Bicara KPK Febri Diansyah menanggapi beredarnya draf 1 RUU Penyadapan pada 20 September 2018 lalu.
"KPK belum menerima secara resmi draf RUU Penyadapan yang beredar tersebut. Namun sekitar Juni 2018, KPK pernah diundang oleh Kementerian Hukum dan HAM. Saat itu ada narasumber yang memaparkan kajiannya. Tentu KPK tidak dalam posisi menyetujui atau tidak pada diskusi tersebut," ungkap Febri dalam pesan singkatnya, Sabtu (29/9/2018).
Febri melanjutkan pada prinsipnya, KPK berharap aturan-aturan yang dibuat jangan sampai memperlemah upaya pemberantasan korupsi dan kejahatan serius lainnya seperti terorisme, narkotik, dan lainnya.
"Kita perlu menyadari korupsi adalah kejahatan luar biasa atau extraa ordinary crime. Prosedur yang menghambat investasi kasus korupsi semestinya diminimalisir sehingga kita perlu meletakkan. Hukum acara penanganan kasus korupsi sebagai sesuatu yang lex specialis," papar Febri.
Kewenangan Penyadapan yang diberikan pada KPK, menurut Febri telah memiliki dasar hukum yang kuat di Pasal 12 ayat 1 huruf a UU 30 tahun 2002, bahwa dalam penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, KPK berwenang melakukan Penyadapan dan merekam pembicaaran.
Adanya Penyadapan, diungkap Febri, sangat menentukan keberhasilan Operasi Tangkap Tangan KPK. Alhasil jika aturan baru dibuat tidak secara hati-hati, maka bukan tidak mungkin kerja KPK akan terhambat termasuk OTT.
"Karena itulah KPK mengajak pada pihak yang memiliki kewenangan pembentuk UU, agar bersama-sama memahami kebutuhan penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi," kata Febri.