Pilpres 2019
Menimbang Calon Pendamping Jokowi pada Pilpres 2019
Belakangan santer beredar nama-nama tokoh yang berpotensi besar menjadi Calon Wakil .....
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Belakangan santer beredar nama-nama tokoh yang berpotensi besar menjadi Calon Wakil Presiden (Cawapres) bagi calon petahana, Jokowi dan penantangnya, Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto.
Baca: KPK Tangkap Anggota DPR Fraksi Golkar
Adapun Cawapres Jokowi dari kalangan Parpol seperti Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Romahurmuziy, dan Politisi Partai Demokrat, TGB M Zainul Majdi.
Sementara dari kalangan non-parpol muncul ke permukaan nama-nama seperti mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, mantan Panglima TNI, Moeldoko, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, Ma'ruf Amin, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (NU), KH Said Aqil Siradj.
Selain itu, juga beredar nama-nama yang berpotensi menjadi pendamping Prabowo dari kalangan parpol seperti politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Ahmad Heryawan dan Salim Segaf Al Jufri, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Zullkifli Hasan dan politisi Partai Demokrat, Chairul Tanjung.
Sedangkan dari kalangan non-parpol muncul nama Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dan mantan Panglima TNI, Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo.
Dari nama-nama diatas siapa yang paling berpeluang besar kansnya untuk mendampingi calon petahana Jokowi?
Pengamat Politik Pangi Syarwi Chaniago melihat sosok mantan Ketua MK Mahfud MD cukup memiliki peluang untuk menjadi cawapres.
"Mahfud MD kalau kita cermati dari kualifikasi figur sangat menarik. Dalam soal ujian integritas beliau sudah selesai, bisa melewati dengan baik dan membuktikannya," kata Pangi dalam pernyataannya, Sabtu(14/7/2018).
Mahfud MD lanjut Pangi juga punya jam terbang yang tinggi di pemerintahan, track record bagus, success story-nya jelas baik di level eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Mahfud juga pernah jadi Menteri Pertahanan di era Presiden Gus Dur, di legislatif pernah menjabat anggota DPR dan di institusi yudikatif pernah menjadi ketua Mahkamah Konstitusi (MK).
Disamping itu, Mahfud punya modal suara akar rumput (grassroot), representasi santri dan NU.
"Nah, track record Mahfud yang panjang itu diharapkan mampu menutupi kelemahan Jokowi soal pengelolaan isu-isu Umat dan kebangsaan. Namun ada persoalan dan kelemahan, karena Mahfud bukan dari Parpol, apakah Mahfud bisa diterima ditataran level elite partai koalisi pendukung Jokowi, akan-kah mendapat restu dari Megawati?kita lihat nanti,"ujar Pangi.
Lalu bagaimana dengan figur ulama kharismatik yakni Ma'ruf Amin?
Ketua MUI ini belakangan mulai diperhitungkan oleh poros koalisi gerbong Jokowi, representasi kelompok Umat Islam.
Selama ini terkesan tegas dan tidak memusuhi umat, mengayomi dan ulama cukup menyejukkan politik kebangsaan, sangat bijak, ulama yang di tengah.
Sosok figur Ma'ruf Amin dibutuhkan Jokowi dalam maintenance problem keumatan. Kalau tidak terjadi split ticket voting maka grasroot NU dan PKB besar kemungkinan bulat memilih Ma'ruf Amin.
Selain itu, kelebihan Ma'ruf Amin yaitu berbedanya ceruk basis segmen pemilihnya dengan Jokowi, sehingga mampu mendulang elektoral bagi Jokowi.
"Sosok yang saling melengkapi dan mampu menambal sisi kelemahan Jokowi. Jokowi penting mengambil sosok ulama, santri dan tokoh umat, dalam rangka membendung/ netralisir menguatnya sintimen politik entitas agama dan etnis belakangan ini,"ujar Pangi.
Sementara sosok Moeldoko kata Dirut Voxpol Center ini belakangan juga mulai diperhitungkan menjadi cawapres Jokowi.
Moeldoko juga pernah menjadi Panglima TNI, chemistry mungkin sudah terbaca oleh Jokowi sejak Moeldoko diangkat menjadi Kepala Staf Kepresidenan.
"Figur yang tegas, loyal, efektif dan efisien, jejaringnya di dunia militer sangat dibutuhkan Jokowi, walaupun beliau sudah pensiun namun kekuatan infrastruktur dan suprastrukturnya di militer tentu masih ada. Terutama mengamankan dan menarik faksi/gerbong jenderal yang kontra/berseberangan terhadap Jokowi,"ujar Pangi.
Muhammad Zainul Majdi (TGB) termasuk juga menarik dicermati, sosok figur yang terbilang sempurna, ulama sekaligus success strory Gubernur NTB dua periode.
Selama ini beliau terafiliasi ke kelompok kanan, termasuk alumni 212 yang mendapat empati dari kelompok umat Islam.
"Ceruk segmen TGB berbeda dengan Jokowi, ini jelas menguntungkan Jokowi, selain merepresentasikan suara Indonesia timur,"kata Pangi.
Dari nama-nama tersebut siapakah paling berpeluang?
Pangi Syarwi kemudian mencoba menganalisia, membaca dan mengenal sosok Ma'ruf Amin punya peluang besar sebagai cawapres Jokowi, walaupun Jokowi punya hak prerogatif. Ada yang sangat penting PDIP untuk dikalkulasi dan dihitung.
Cawapres yang senior dari segi umur, yang karir kira- kira habis di tahun 2024, tidak curi start atau jangan sampai membahayakan PDIP.
Ma'ruf Amin lebih mudah mendapatkan restu dari parpol koalisi pendukung utama dalam hal ini Megawati dan PDIP, restu Megawati determinan menentukan siapa cawapres Jokowi.
Seandainya Jokowi memainkan strategi politik bumi hangus, maka ada potensi Jokowi menggandeng Mahfud MD dan Ma'ruf Amin, tidak satu pun mengambil cawapres dari tokoh parpol/ketua umum.
"Tingkat penerimaan (akseptabel) parpol koalisi lebih bagus, sebab tidak satu pun kader atau ketua umum parpol menjadi cawapres Jokowi, sehingga adil bagi semua parpol pengusung. Jokowi tidak perlu perang urat saraf dengan ketua umum parpol pengusung yang terkesan memaksakan kadernya menjadi cawapres pendamping Jokowi,"ujar Pangi.
Lebih jauh Pangi menjelaskan ada beberapa kriteria menjadi penting juga dipertimbangkan parpol dalam memilih cawapres.
Pertama, dari sisi kualifikasi akseptabilitas, penerimaan dan kesukaan publik, seberapa besar restu dari elite dan penerimaan parpol koalisi terhadap figur cawapres tersebut.
Sejauh mana beliau diterima tataran masyarakat, elite politik, opinion leader dan massa grasroot.
Kedua, modal racikan elektoral menjadi penting sebagai cawapres dalam pertarungan kontestasi elektoral pilpres. Baik popularitas, akseptabilitas dan elektabilitas mesti satu tarikan nafas alias sejalan dan tak boleh senjang.
Ketiga, soal chemistry (nuansa kebatinan) capres dan cawapres menjadi pertimbangan juga. Kalau nanti wapres terkesan lebih menonjol dari presiden, terkesan wapres cita rasa "the real president", dalam pemerintahan tak boleh ada matahari kembar.
Keempat, terkait restu ketua umum Parpol pengusung utama Jokowi. Bagi Jokowi elektabilitas itu sangat penting, dan Jokowi tidak lagi bicara setelah 2024. Sementara, logika PDIP berbeda, bicara setelah 2024.
Karena itu, PDIP menilai tidak mau kalau bukan kader mereka untuk keberlanjutan partai. Kalau panggung cawapres ini diambil elite partai yang bukan kader PDIP, maka figur wapres tersebut bisa terang lampunya di tahun 2024, jelas itu membahayakan masa depan dan kemajuan PDIP, karena wapres sudah curi start.
Kelima, kombinasi ideal yaitu nasionalis religius, cawapres Jokowi tidak perlu dipaksakan ahli di bidang ekonomi, hukum dan politik. Nanti sudah cukup diperkuat menteri Koordinator (Menko).
"Namun yang terpenting cawapres harus berbeda ceruk segmen pemilih dengan capres, ngak boleh sama. Oleh karena itu, segmen Jokowi nasionalis dan cawapresnya mesti dari segmen ceruk religius (ulama atau santri),"ujar Pangi.