Pilpres 2019
PKB Disarankan Tetap Bergabung di Koalisi Pemerintahan Jokowi
Jikapun PKB akan membentuk koalisi baru, Emrus menyarankan, agar melakukan kalkulasi politik sematang mungkin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Nama Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar alias Cak Imin belakangan santer terdengar jadi kandidat wakil presiden pendamping Jokowi di Pilpres tahun 2019 mendatang.
Bahkan, Ketua Umum PPP Muhammad Romahurmuziy (Romi) sampai mengajak Cak Imin untuk tetap bersama partai koalisi Jokowi.
Baca: Ulang Tahun Jokowi: Kisah Perjuangan Masa Muda hingga Akselerasi Karir Politik
Romi juga menanyakan peluangnya maju dengan mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo di Pilpres 2019, saat halal bihalal keluarga besar Bani Hasbullah Said di Jombang, Jawa Timur, beberapa waktu lalu.
Terkait hal tersebut Pengamat komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing, sependapat dengan Romi bahwa lebih realistis PKB tetap di dalam pemerintahan dan kembali mendukung Jokowi ketimbang membangun koalisi baru.
Alasannya, hampir semua hasil survei menunjukkan saat ini belum ada figur lain yang bisa menandingi Jokowi dan Prabowo dari sisi elektabilitas dan ketokohan sebagai capres 2019.
Jikapun PKB akan membentuk koalisi baru, Emrus menyarankan, agar melakukan kalkulasi politik sematang mungkin.
"Mereka harus bekerja sama dengan calon-calon yang memiliki peluang tinggi untuk menang. Sekarang ya masih Pada Jokowi dan Prabowo. Sementara paslon lain, misalnya Gatot Nurmantyo masih jauh di bawah. Selisih antara Pak Jokowi dengan Prabowo saja berbeda 20 persen," kata Emrus dalam pernyataannya, Kamis(21/6/2018).
Hingga saat ini, lanjut dia, Gatot juga belum menunjukkan tanda-tanda peningkatan elektabilitas.
"Kalau Gatot tetap dicalonkan, pasti butuh energi yang lebih banyak untuk menyatunya partai-partai pendukung, karena dia kan bukan ketua umum partai," imbuhnya.
Lebih dari itu, PKB tidak mungkin sendiri mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden.
Baca: Megawati Sebut Cak Imin sebagai Anak Hilang yang Telah Kembali
Paling tidak ada dua atau tiga partai sehingga memungkinkan terpenuhi Presidential Threshold 20 persen kursi di parlemen atau 25 persen suara nasional.
"Memang sudah seharusnya partai-partai itu membuat keputusan (koalisi atau tidak) agar rakyat lebih cepat tahu, siapa paslon definitif, dan bisa mendiksuikan, mengkaji dan mengambil keuputusan paslon yang mereka akan pilih," tutupnya. (Willy Widianto)