Sabtu, 4 Oktober 2025

Fadli Zon Sebut Gerindra Dukung Wacana Bentuk Pansus Hak Angket terkait Pj Gubernur Jawa Barat

Fraksi Partai Gerindra di DPRD Jawa Barat sudah mengambil sikap tegas memboikot pelantikan Pj Gubernur Jawa Barat yang cacat hukum

KOMPAS.com/Nabilla Tashandra
Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (2/8/2017) 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Fadli Zon mengatakan partainya sangat mendukung dibentuknya Pansus Hak Angket terkait pengangkatan perwira Polri aktif sebagai Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Barat.

Fraksi Partai Gerindra di DPRD Jawa Barat sudah mengambil sikap tegas memboikot pelantikan Pj Gubernur Jawa Barat yang cacat hukum.

Baca: Kritik dan Tolak Kenaikan Tarif Tol, Fadli Zon: Pemerintah Makin Memeras Rakyat

Ia mengatakan Partai Gerindra di DPR RI akan ikut mendukung dan menjadi inisiator dibentuknya Pansus Hak Angket atas pengangkatan perwira Polri aktif sebagai Gubernur.

"Masyarakat bisa menilai sendiri, kritik atas penunjukkan jenderal polisi aktif sebagai Pj Gubernur Jawa Barat ini bukan hanya datang dari kelompok oposisi, tapi juga disampaikan sejumlah partai pendukung pemerintah sendiri," ujar Fadli, dalam keterangan tertulis, Selasa (19/6/2018).

Artinya, lanjut dia, di luar soal oposisi dan non-oposisi, semua pihak pada dasarnya memiliki penilaian serupa bahwa kebijakan tersebut memang keliru, menabrak undang-undang, dan tak sesuai tuntutan Reformasi untuk menghapus dwifungsi angkatan bersenjata, baik TNI maupun Polri.

Pengangkatan Komjen M Iriawan, dinilai Fadli bukan hanya cacat secara formil, tapi juga secara materil.

Menurut Fadli, sesudah namanya ditarik Menko Polhukam, ia kemudian dimutasi ke Lemhanas, dijadikan Sekretaris Utama.

Ia diberi jabatan tinggi madya di lingkungan aparatur sipil negara (ASN) hanya untuk mengulang model pengangkatan Irjen Pol Carlo Brix Tewu sebagai Pj Gubernur Sulawesi Barat pada 2016, yang sebelumnya menduduki jabatan tinggi madya di Kemenko Polhukam.

"Itu berarti sejak awal pemerintah memang sangat menginginkan Iriawan menjadi Gubernur Jawa Barat, meskipun sempat berpura-pura menarik namanya pada akhir Februari silam. Jadi, ini dagelan politik saja," ungkapnya.

Meskipun memang ada preseden nya, Fadli mengatakan penunjukkan anggota Polri aktif sebagai gubernur cukup jelas melanggar undang-undang. Ada tiga undang-undang yang terlanggar.

Pertama, UU No. 2/2002 tentang Kepolisian. Dalam pasal 28 ayat 1, UU jelas memerintahkan Polri bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis. Begitu juga dalam ayat 3 Pasal 28, yang menyebutkan bahwa anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

Ia menuturkan rambu ini sangat tegas dan juga menjadi bagian dari spirit Reformasi yang telah ditegaskan konstitusi pasca-amandemen.

Kedua, UU No. 16/2016 tentang Pilkada. Menurut UU Pilkada, untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur maka diangkat pejabat Gubernur yang berasal dari jabatan pemimpin tinggi madya.

Jabatan pemimpin tinggi madya ini ada batasannya, yaitu pejabat Aparatur Sipil Negara. Gubernur adalah jabatan sipil, jadi tak dibenarkan polisi aktif menduduki jabatan tersebut.

Ketiga, UU No. 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam Pasal 20 ayat (3) disebutkan pengisian jabatan ASN tertentu memang bisa berasal dari prajurit TNI atau anggota Polri, namun ketentuan inipun ada batasnya, yaitu hanya bisa dilaksanakan pada Instansi Pusat saja. Sementara, Gubernur pejabat pemerintah daerah.

Apalagi, Peraturan Pemerintah (PP) No. 11/2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, turunan UU ASN, pada Pasal 157 ayat (1) menegaskan jikapun ada prajurit TNI dan anggota Polri yang kompetensinya dibutuhkan untuk pengisian jabatan pimpinan di luar Instansi Pusat, maka yang bersangkutan harus mengundurkan diri terlebih dahulu dari dinas aktif.

"Nah, semua undang-undang dan peraturan tadi telah dilanggar pemerintah saat pelantikan Komjen M Iriawan sebagai Pj Gubernur Jawa Barat pada hari Senin kemarin. Ini tak boleh dibiarkan. Negara tak bisa dikelola seenak selera penguasa," kata Fadli.

"Dulu sudah saya ingatkan, biang kerok semua ini adalah Permendagri No. 1/2018, yang telah menyesatkan seluruh peraturan yang ada di atasnya. Permendagri No. 1/2018 telah memberikan tafsir salah melalui pencantuman frasa 'setara jabatan tinggi madya', sehingga seolah aparat negara non-sipil memiliki hak yang sama dengan ASN," imbuhnya lagi.

Lebih lanjut, Wakil Ketua DPR RI ini menilai Permendagri tersebut bermasalah, karena bertentangan dengan peraturan perundangan di atasnya.

Dahulu, ia pernah menyarankan agar Permendagri ini segera dicabut, namun menurutnya hal itu tak dihiraukan. Akibatnya, kini Kemendagri telah menyeret polisi kembali ke pusaran politik praktis.

"Ini kan tidak benar. Saat Reformasi dulu kita sudah mengkoreksi dwifungsi TNI, jangan kini pemerintah mengulang kesalahan dengan dwifungsi Polri," katanya.

Baca: Dari Aspek Administrasi, Ombudsman Tak Lihat ada Persoalan dari Pelantikan Komjen Iriawan

Selain itu, ia berpendapat pengangkatan Mayjen TNI Setia Purwaka sebagai Penjabat (Pjs) Gubernur Jawa Timur pada 26 Agustus 2008, serta pelantikan Irjen Pol Carlo Brix Tewu sebagai Penjabat Gubernur Sulawesi Barat pada 30 Desember 2016, adalah preseden yang salah.

"Tak sepatutnya preseden salah dijadikan yurisprudensi. Pansus Hak Angket harus bisa mengkoreksi hal ini. Jangan sampai kesalahan masa lalu itu malah dilembagakan seolah-olah kebijakan yang benar. Gerindra tak menginginkan negara ini dikelola secara amatiran dan sekehendak hati penguasa. Itu sebabnya kami akan gulirkan Pansus Hak Angket," pungkasnya.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved