Bom di Surabaya
Begini Keseharian Perilaku Keluarga Pelaku Bom Bunuh Diri di Surabaya di Mata Tetangga
Akibat ledakan tersebut, hingga Minggu (13/5/2018) malam sekitar pukul 21.45 WIB, sebanyak 56 orang menjadi korban.
TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Serangan bom bunuh diri tejadi di tiga gereja di Surabaya, Minggu (13/5/2018) pagi secara hampir bersamaan.
Gereja yang jadi korban adalah Gereja Kristen Indonesia (GKI) di Jalan DIponegoro, lalu Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela di Jalan Ngagel Madya, dan Gereja GPPS Jalan Arjuno.
Akibat ledakan tersebut, hingga Minggu (13/5/2018) malam sekitar pukul 21.45 WIB, sebanyak 56 orang menjadi korban.
Rinciannya, 14 orang meninggal dunia dan 42 luka-luka dan saat ini dirawat di sejumlah rumah sakit di Surabaya.
Baca: Pengamat: Aksi Bom Surabaya Balas Dendam Insiden di Mako Brimob
Indonesia pun berduka. Presiden Joko Widodo langsung turun ke Surabaya, meninjau lokasi gereja yang dibom oleh para teroris.
Jokowi yang didampingi Panglima TNI, Kapolri, Menkopolhukam, Kepala BIN, dan pejabat terkait lainnya juga meninjau korban yang dirawat di beberapa rumah sakit.
Dalam waktu yang relatif singkat, hanya sekitar delapan jam paska kejadian, polisi berhasil mengungkap pelaku bom bunuh diri paling dahsyat di wilayah provinsi Jatim ini.
Kapolri Jenderal Pol Tito Karnivian menegaskan, serangan bom bunuh diri ke tiga gereja di Surabaya ternyata dilakukan oleh enam orang.
Pelaku adalah satu keluarga. Yakni, keluarga Dita Supriyanto yang tinggal di Wonorejo Asri, Kecamatan Rungkut, Kota Surabaya.
Mereka terdiri atas, ayah Dita Supriyanto, ibu Puji Kuswati, dan empat orang anak, masing-masing dua anak laki-laki YF (18) dan FH (16), dan dua lainnya anak perempuan FS (12) dan PR (9).
Sangat ironis, karena anak-anak yang diajak Dita dan Puji melakukan bom bunuh diri masih dibawah umur.
Bagaimana sebenarnya perilaku keseharian Keluarga Dita Supriyanto, sehingga nekat mengebom tiga gereja di Surabaya, dengan mengajak empat anaknya yang masih bocah.
Berikut kisah lengkapnya:
Keluarga Dita Supriyanto dikenal tertutup oleh para tetangga.
Tinggal di Perumahan Wisma Indah Jalan Wonorejo Asri XI Blok K Nomor 22, keluarga tersebut jarang bersosialisasi dua tahun terakhir.
Meskipun, tiga tahun yang lalu Dita pernah menjadi ketua sub RT/RW 02/03 Kelurahan Wonorejo, Kecamatan Rungkut.
Ketua Sub RT adalah jabatan di bawah kepala RT. Sub RT hanya membawahi satu blok saja.
Jabatan Dita diganti oleh Adi, warga yang rumahnya hanya berjarak tujuh bangunan dari rumah Dita. Adi tinggal di lingkungan tersebut sejak 2010. Sebelum itu, Dita dan keluarganya sudah terlebih dulu tinggal di sini.
"Orangnya tertutup. Identitas dia tidak pernah ditunjukan. Bahkan kepada RT," kata Adi saat ditemui di rumahnya, Minggu (13/5/2018).
Informasi soal Dita hanya diketahui cari cerita para tetangga.
Adi, misalnya, tahu bahwa orang tua dari salah satu pasangan istri itu berasal dari Banyuwangi. Tapi ia tak tahu detail tentang latar belakang lain dari mereka.
Di luar itu, Adi mengenal Dita sebagai orang yang baik. Tak tampak ada perilaku radikal darinya, juga keluarganya.
Meski tak pernah bersosialisasi dengan warga sekitar dua tahun terakhir, ia menunjukkan gelagat yang baik setiap kali keluar rumah.
"Jarang ketemu. Kalau ada kumpul-kumpul RT, dia tak pernah datang," ungkapnya.
Perilaku serupa juga ditunjukkan oleh sang istri dan anak-anaknya. Menurut Adi, sejak dulu, istri dan anak-anaknya tidak pernah berkumpul dengan warga sekitar.
Mereka cenderung tertutup hidup di dalam rumah jika tak ada kegiatan keluar kampung.
"Rumah itu tidak ada tenggangganya yang pernah masuk. Dia kalau ke rumah saya, saya persilakan. Tapi dia tidak pernah (mengajak orang ke rumahnya)," tutur dia.
Pernah suatu ketika Adi punya perlu dengan Dita. Ia pun mendatangi rumahnya. Tapi rumah selalu dalam keadaan terkunci.
Rumah Jadi Tempat Latihan Silat
Nyaris tak ada gelagat yang menunjukkan keluarga Ditta berpaham radikal. Sang istri, yang dalam pengeboman menggunakan cadar, berpenampilan normal saja sehari-hari.
"Pakai kerudung, iya. Tapi tidak pakai cadar," tutur Adi.
Pernah dua tahun lalu rumah Dita dipakai untuk latihan silat orang-orang dari luar.
Adi mengetahuinya dari laporan satpam. Ia pun tak pernah mengganggap hal itu sebagai hal yang mencurigakan.
Sebagai warga kampung itu, Dita bekerja tak tetap. Dia pernah bekerja sebagai pembuat jamu. Kemudian, ia menjadi pembuat minyak kemiri.
"Dulu pernah limbahnya dibuang di got. Tetangga-tetangga marah," tambahnya.
Empat anak Dita pun masih bersekolah. Satu masih di jenjang SMA, satu jenjang SMP, dan dua jenjang SD.
Anggota Jemaah JAD
Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian menegaskan, bahwa pelaku adalah anggota jemaah JAD. Kelompok ini tidak lain adalah sel jaringan ISIS.
"Dita adalah Ketua JAD (jaringan Ansarut Daulah) Surabaya. Jaringan ini kaitannya dengan JAT (Jaringan Ansarut Tauhid). Keduanya terkait dengan ISIS," terangnya.
Pimpinan mereka adalah Abdurahman yang yang saat ini ditahan di Mako Brimob. Jaringan mereka adalah terkait dengan jaringan teroris ISIS.
JAD di Surabaya adalah bagian sel jaringan ISIS. Kapolri mencatat baik anggota JAD maupun JAT saat ini telah berangkat ke Syiria. Namun ada yang sudah kembali ke Indonesia.
Kapolri mencatat, anggota ISIS di Indonesia yang berangkat sebanyak 1.100. Sebanyak 500 ada di Syiria sekarang. Sebanyak 103 telah meninggalkan Syiria dan 500 di deportase. (*)
Penulis: Mujib Anwar