Hari Filateli Indonesia ke-96, Fadli Zon Terima 4 Rekor MURI
Filatelis Indonesia memperingati Hari Filateli Indonesia ke-96 di Gedung Filateli Jakarta, Sabtu (31/3/2018.
"Saya kira itu bukan ungkapan berlebihan. Pada kenyataannya, mereka yang terdidik dan melek literasi yang bisa tertarik hobi ini. Ekslusif di sini artinya tentu saja bukan elitis, tapi lebih berarti segmented," ungkap Fadli
Hari Filateli Indonesia ditetapkan berdasarkan hari kelahiran organisasi pertama para penggemar prangko pada masa kolonial Belanda, yaitu Postzegelverzamelaars Club Batavia (PCB), yang berdiri pada 29 Maret 1922.
Penetapan tanggal kelahiran PCB sebagai Hari Filateli pertama kali dilakukan pada 2006 ditandai terbitnya prangko seri Hari Filateli, yang diluncurkan pada FIAP EXCO Meeting di Yogyakarta, sebuah pertemuan tingkat tinggi federasi organisasi filatelis se-Asia Pasifik.”
Hobi filateli menurut Fadli, dekat dengan dunia pengetahuan dan literasi. Hobi ini melibatkan ketelatenan luar biasa dari pencintanya.
Selain menjadi media pendidikan, filateli sebenarnya bisa dijadikan wadah pembentukan karakter. Itu sebabnya Fadli memaparkan, Hari Filateli Indonesia tahun ini mengambil tema ‘Filateli membentuk krakter bangsa.
Di era digital sekarang ini, Fadli menganggap, justru makin melihat pentingnya masyarakat, terutama anak-anak sekolah, berkenalan dengan filateli.
Salah satu masalah yang kita hadapi kini adalah penyebaran hoax yang massif melalui berbagai saluran media sosial.
“Anak-anak kita di sekolah harus diajari kembali menulis surat, agar mereka terampil berbahasa, bisa merumuskan pikiran, dan menyadari pentingnya berinteraksi serta berkomunikasi dengan orang lain melalui medium tulisan, bukan hanya lisan," ungkapnya.
"Kita bisa melihat, seiring meluasnya kemajuan IT, keterampilan berbahasa kita justru makin buruk. Padahal, kekacauan berbahasa bisa membawa kekacauan berpikir dan bertindak," katanya lagi.
Meminjam Andreas Teeuw, sambung Fadli, melompat dari tradisi ‘kelisanan primer’ (primary orality) menuju ke ‘kelisanan sekunder’ (secondary orality) yang melekat pada budaya komunikasi dunia maya.
"Kita lompati tahap ‘dunia keberaksaraan’. Tak heran, begitu masuk ke era media sosial, yang ramai dibagikan termasuk desas-desus dan hoax, meneruskan kebiasaan bergosip dalam tradisi lisan yang sebelumnya berkembang," katanya.
"Kita ingin membentuk karakter bangsa melalui kegiatan yang mendorong orang pada kegiatan literasi," Ketua Umum Perkumpulan Filatelis Indonesia (PFI) yang juga, Wakil Ketua DPR RI ini menegaskan kembali.