Pilpres 2019
Ketika Jusuf Kalla Tolak Halus Tawaran Jadi Cawapres
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengetahui adanya dorongan agar dirinya maju lagi untuk menjadi calon wakil presiden di Pemilu Presiden 2019.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengetahui adanya dorongan agar dirinya maju lagi untuk menjadi calon wakil presiden (cawapres) di Pemilu Presiden 2019.
Namun dengan halus, Kalla menolaknya.
"Bahwa ada yang mengusulkan saya ikut lagi (di pilpres sebagai cawapres), ya, saya ucapkan terima kasih, tetapi kita harus kaji baik-baik undang-undang kita di Undang-Undang Dasar," ujarnya.
Pasal 7 UUD 1945 memberikan batasan terkait dengan masa jabatan presiden dan wakil presiden.
Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Artinya, presiden dan wakil presiden hanya dapat dipilih kembali untuk jabatan yang sama untuk satu kali masa jabatan alias maksimal dua periode jabatan.
Adapun JK sebelum menjadi wapres periode 2014-2019 juga menjadi wapres pada periode 2004-2009.
"Daripada itu kita tidak ingin nanti terjadi seperti waktu Orde Baru. Pada saat itu, Pak Harto tanpa batas gitu, kan, jadi kita menghargai filosofi itu," katanya.
Mantan Ketua Umum Partai Golkar itu juga mengetahui bahwa ada tafsiran yang berbeda dari Pasal 7 UUD 1945, tetapi ia menyerahkan hal itu kepada para ahli hukum.
Baca: Abu Bakar Baasyir Harus Pakai Kaus Kaki Ketat untuk Mencegah Pembengkakan Bertambah Parah
JK mengatakan, dirinya masih ingin mengabdi kepada bangsa. Namun pengabdian kepada bangsa tidak melulu harus di pemerintahan.
"Tentu saya ingin mengabdi kepada bangsa seperti tadi. Bagaimana kita mengabdi di pendidikan, di sosial, ekonomi sama-sama. Sebab, pengabdian itu tidak terbatas di pemerintahan," ucapnya.
JK pun memiliki kriteria khusus siapa pendamping yang pas untuk Presiden Joko Widodo di pemilu 2019.
Ia menjelaskan sosok pendamping Joko Widodo, pertama harus bisa memperluas dukungan pada Jokowi, harus dikenal baik serta ada pendukungnya.
"Yang kedua harus bisa jadi presiden," kata pria asal Sulawesi Selatan ini.
Ia menjelaskan, dari enam presiden terdahulu, dua Presiden yakni Megawati Soekarnoputri dan BJ Habibie terlebih dahulu menjadi wakil presiden dan kemudian menjadi presiden.
"Artinya tokoh itu (pendamping) harus mantap karena kalau tidak, kalau tidak siap bagaimana. Harus bisa memiliki pengalaman pemerintah. Ya terserah mau birokrat, mau politisi," ujar JK.
JK menegaskan bahwa dirinya mendukung Jokowi maju di Pilpres 2019, meski enggan menyebutkan bentuk dukungan seperti apa yang ia berikan pada Jokowi.
"Ya mendukung, artinya beliau (Jokowi sampai) terpilih," ucap mantan Menko Perekonomian ini.
Baca: Perusahaan Jepang Diminta Sampaikan Permintaan Maaf kepada 400 Peserta Ujian Keperawatan Nasional
Makan Siang Bareng Jokowi
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menyempatkan diri santap siang bersama di Istana Merdeka Jakarta.
Di sela blusukan di Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin sore, para wartawan pun menanyakan apa saja topik pembicaraan selama santap siang tersebut.
"Urusan investasi, ekspor dan insentif-insentif saja," ujar Jokowi.
Sebab, menurut Jokowi, pertumbuhan ekonomi dapat didongkrak dengan meningkatkan investasi dan ekspor.
Sementara tentang insentif, Presiden berpendapat, perlu diberikan kepada pelaku usaha.
Tujuannya juga untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional.
Jokowi melanjutkan, pembicaraan dengan JK saat santap siang belum selesai.
"Pekan ini, setelah Pak Wapres dari Afghanistan, akan kami matangkan lagi soal itu. Tapi intinya itu sudah mulai, detailnya ada, check list yang harus kita lakukan sudah kelihatan semuanya," ujar Jokowi.
Ia membantah membahas politik dengan Wapres Kalla.
"Hanya soal tadi saja, beneran. Bener kok," ujar Jokowi meyakinkan jurnalis.
Jokowi-Prabowo
Wakil Koordinator Bidang Pratama Partai Golkar Bambang Soesatyo menilai saat ini Wakil Presiden Jusuf Kalla paling ideal kembali mendampingi Presiden Joko Widodo dalam Pilpres 2019.
Meski demikian, kata Bambang, harus dikaji kembali pencalonan Jusuf Kalla berdasarkan peraturan perundang-undangannya.
Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945 mengatur, Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Baca: Sang Putra Akui Ada Gerakan Lobi-lobi Para Ulama untuk Bebaskan Baasyir
"Cawapres menurut kami yang tertinggi berdasarkan survei memang masih Pak JK. Cuma memang sekarang sedang dikaji apakah UUD kita memperbolehkan wapres itu lebih dari dua kali," ujar Bambang.
Nama lain yang juga muncul sebagai cawapres mendampingi Jokowi adalah putra pertama Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY.
Kendati demikian Bambang memandang, Jokowi memerlukan cawapres yang mampu mengangkat elektabilitas.
Menurut dia, selain JK, nama Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto bisa didorong menjadi pasangan Jokowi.
"Kalau Pak JK tidak boleh, maka yang ideal adalah pasangan Jokowi-Prabowo," tuturnya.
Ketua DPR itu mengatakan, jika melihat Pilpres 2014, menyandingkan Prabowo sebagai cawapres Jokowi juga menghindari perpecahan antara kedua pendukungnya, baik di masyarakat maupun di parlemen.
Ia berpendapat, munculnya Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) sangat berpengaruh pada kinerja DPR.
Di sisi lain, pertarungan sengit juga terjadi antara pendukung Jokowi dan Prabowo di masyarakat hingga pasca-Pilpres.
"Adanya KMP dan KIH di parlemen juga sangat memengaruhi akhirnya kinerja pemerintahan satu tahun pasca-Pilpres. Kan agak stuck, tidak langsung bisa berlari karena di parlemen ada perpecahan, ya pendukung Jokowi dan pendukung Prabowo," tuturnya.
"Jadi ke depan saya pikir dibutuhkan kesadaran bagi kita sebagai anak bangsa untuk mendahulukan kepentingan rakyat dan mendorong pasangan yang minim potensi perpecahannya," kata Bambang.
Sementara itu Partai Golkar menyatakan siap menyodorkan nama tokoh internal, selain Jusuf Kalla, sebagai calon wakil presiden (cawapres) bila diminta oleh Presiden Joko Widodo.
"Kalau diminta oleh Pak Jokowi (sodorkan nama), kenapa tidak?" ujar Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily.
Meski siap menyodorkan nama cawapres ke Jokowi, Ace mengatakan bahwa Partai Golkar terlebih dulu akan fokus menggenjot elektabilitas partai jelang Pemilu 2019.
Oleh karena itu, kata dia, hingga hari ini belum ada pembahasan terkait dengan nama cawapres untuk Jokowi di internal Partai Golkar.
Partai Golkar sebagai salah satu partai yang jauh-jauh hari menyatakan dukungan kepada Jokowi untuk maju pada Pilpres 2019, menilai bahwa salah satu kriteria ideal cawapres Jokowi adalah tokoh yang punya elektabilitas.
Hal ini dinilai penting sehingga kehadiran tokoh tersebut akan meningkatkan elektabilitas Jokowi. (Tribun Network/rina ayu/kps/wly)