Moeldoko Dapat Titipan Pesan Ini Dari Komisi II Untuk Presiden Jokowi
Kepala Staf Presiden Jenderal Purnawirawan Moeldoko menghadiri rapat kerja bersama Komisi II DPR RI.
Laporan Wartawan Tribunnews, Taufik Ismail
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Staf Presiden Jenderal Purnawirawan Moeldoko menghadiri rapat kerja bersama Komisi II DPR RI.
Dalam rapat perdana sebagai kepala staf presiden, Moeldoko langsung mendapat titipan pesan dari anggota komisi II kepada presiden Joko Widodo.
Pesan tersebut yakni mengenai komitmen presiden bahwa menterinya tidak boleh rangkap jabatan.
Namun kemudian komitmen tersebut dilanggar dengan dipertahankannya Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto sebagai Menteri perindustrian.
Baca: Pernyataan Menggelitik Sekda DKI Soal Banjir: Dari Kulkas Hingga Sodetan
"Namun dalam pelaksanaannya ternyata ada (menteri) yang rangkap jabatan," ujar anggota Komisi II Ahmad Riza Patria dalam rapat, Rabu, (7/2/2018).
Menurut Riza argumen presiden Joko Widodo yang kini memperbolehkan menterinya rangkap jabatan kurang memuaskan.
Terutama alasan rangkap jabatan untuk konsolidasi kabinet pada sisa masa pemerintahan.
Baca: Politikus PDIP Sebut Perbedaan Pandangan Fraksi di DPR Soal RUU MD3 Mulai Berkurang
"Karena itu saran saya agar ini disampaikan kepada Pak Presiden. Karena ini ternyata melanggar UU Nomor 39 Tahun 2008," tuturnya.
Dalam rapat tersebut Riza kemudian membacakan pasal dalam undang-undang yang menjadi dasar argumennya tersebut.
Yakni pasal 23 Undang-undang 39 tahun 2008 tentang kementerian negara.
Baca: Dua Pelawak Indonesia Tersandung Kasus Penyalahgunaan Visa di Hong Kong, KJRI Beri Pendampingan
Riza meminta Moeldoko menyampikan hal tersebut kepada presiden.
"Mungkin Presiden tidak tahu dan tidak mengerti ada aturan UU ini. Jadi bapak mungkin bisa menyampaikan ke Presiden," katanya.
Ketika ditanya wartawan usai rapat, Moeldoko mengatakan bahwa presiden memiliki pertimbangan mantang yang memperbolehkan meterinya rangkap jabatan.
Menurut Moeldoko pertimbangan tersebut merupakan pertimbangan kerja, bukan politik.
"Presiden punya pertimbangan sendiri, pertimbangan-pertimbangan efektifitas kerja, udah diihitunglah nanti dan seterusnya," kata Moeldoko.