Mendagri: Presidential Threshold Diperlukan untuk Perkuat Sistem Demokrasi
"Presidential threshold diperlukan semata-mata untuk memperkuat sistem demokrasi yang berkualitas, yang mampu menghadirkan pemimpin..."
Laporan Wartawan Tribunnews.com, M Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold. MK memutuskan bahwa PT tetap digunakan dalam Pilpres 2019 mendatang.
Tjahjo menilai, argumen yang dibangun oleh pemerintah baik dalam pembahasan Pansus DPR dan sidang MK selama ini sudah tepat. Menurutnya, argumen tersebut sejalan tegak lurus dengan konstitusi.
Baca: Sandiaga Tak Bantah Gerindra Tarik Dana dari Bakal Calon Kepala Daerah Tapi Bukan untuk Mahar
Baca: Dokter Bimanesh Penuhi Panggilan Tersangka KPK
"Presidential threshold diperlukan semata-mata untuk memperkuat sistem demokrasi yang berkualitas, yang mampu menghadirkan pemimpin nasional yang negarawan dan mampu menjadi pemimpin perekat NKRI," kata Tjahjo melalui pesan singkatnya, Jumat (12/1/2018).
Diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold. Mahkamah menolak uji materi Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemillu.
Uji materi tersebut diajukan oleh Partai Islam Damai Aman (Idaman) yang diwakili oleh Rhoma Irama yang berkedudukan sebagai Ketua Umum dan Ramdansyah yang berkedudukan sebagai Sekretaris Jenderal. Perkara tersebut teregistrasi dengan Nomor 53/PUU-XV/2017.
"Menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya," kata Ketua Majelis Hakim, Arief Hidayat di Gedung MK, Jakarta, Kamis (11/1/2018).
Dalam pertimbangannya, Hakim menuturkan, argumen yang diajukan pemohon untuk menyatakan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 inkonstitusional, berdasarkan anggapan hasil pemilu sebelumnya yaitu Pemilu 2014 yang dijadikan dasar telah lalu atau selesai sehingga tidak relevan lagi digunakan untuk pencalonan Presiden dan Wakil Presiden 2019 dan sekaligus Partai pendatang baru terdiskriminasi.
"Hal demikian tidak benar, karena hasil itu tetap penting sebagai peta politik dan pengalaman yang menunjukkan data dan fakta dalam menyusun kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan negara," kata Arief.
Terhadap dalil pemohon bahwa ketentuan presidential threshold dalam pasal 222 UU Pemilu bersifat diskriminatif karena memangkas hak pemohon sebagai parpol peserta Pemilu untuk mengusulkan ketuanya Rhoma Irama sebagai calon presiden, Mahkamah berpendapat bahwa dalil diskriminasi tidak tepat digunakan dalam hubungan ini.
"Karena tidak setiap perbedaan perlakuan serta merta berarti ddiskriminasi," tutur Arief.
Mahkamah, kata Arief juga menilai pokok permohonan pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 222 UU Pemilu tidak beralasan menurut hukum.