Korupsi KTP Elektronik
Warganet Teken Petisi Hentikan Kasus Penyebar Meme Setya Novanto
Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) merupakan pokok persoalan yang banyak dilaporkan parpol tak lolos verifikasi kepada Badan Pengawas Pemilu.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengguna internet ramai-ramai menandatangani petisi meminta Polri menghentikan penyidikan terhadap warganet yang menyebarkan meme Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto.
Petisi yang digalang melalui situs change.org itu dibuat DamarJuniarto, Regional Coordinator SAFEnet, Senin (6/11/2017) sore.
Petisi ditujukan kepada Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian, Setya Novanto, dan pengacaranya, Friedrich Yunadi.
Dalam petisi tersebut, Damar menjabarkan adanya 32 akun media sosial yang dilaporkan Novanto kepada polisi karena menyebarkan meme Setya Novanto.
Satu di antaranya, warganet yang berinisial DKA, sudah ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka.
Baca: Beredar Sprindik Baru KPK Kembali Tetapkan Setya Novanto sebagai Tersangka e-KTP

Damar menilai, seharusnya penyebar meme Novanto tidak layak dipenjara karena hanya membuat kritikan dalam bentuk satir.
"Ini kan cuma bercandaan anak medsos... Apa layak yang begini dimasukkan ke penjara?" tulis Damar.
Damar menilai, kriminalisasi terhadap warganet ini tak terlepas dari peliknya pasal defamasi atau pencemaran nama baik yang ada di UU ITE dan KUHP.
Menurut dia, ini merupakan pasal kolonial yang dipertahankan untuk melindungi orang-orang berkuasa.
"Jadinya yang warga biasa bisa dipenjara cuma karena ada penguasa yang baper," katanya.
Baca: Kasus Meme Setya Novanto Tidak Layak Dipidanakan
Padahal, menurut dia, pasal ini sudah direvisi setahun lalu dengan menurunkan ancaman pidana menjadi empat tahun dan atau denda Rp 750 juta dan tambahan penjelasan bahwa pasal ini harus merujuk pada Pasal 310-311 KUHP.
Artinya, polisi tidak bisa lagi menangkap dan menahan seseorang yang diduga melanggar pasal ini sewaktu-waktu, kecuali alasan subyektif, yakni orangnya akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi perbuatan.
"Artinya apa? Ini adalah bukti bagaimana pasal defamasi dipelintir menjadi pasal pembungkaman ekspresi," katanya.