Calon Presiden 2019
Jelang Pilpres, Jokowi Diminta Waspadai Isu ''Pemimpin Pribumi dan Nonpribumi''
Masyarakat dianggap akan lebih berpihak terhadap calon pemimpin yang mau bekerja dan antikorupsi, tak peduli rasnya berasal.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Relawan Jokowi meminta presiden mewaspadai isu politik yang diembuskan "lawan" menjelang pemilu 2019, termasuk polarisasi pemimpin pro pribumi dan nonpribumi.
"Presiden harus bersiap dan mengantisipasi bermacam isu yang dihembuskan lawan untuk menjegal pada Pilpres 2019, seperti pengkotak-kotakan antara pemimpin yang mendukung pribumi dan nonpribumi, " ujar Ketua Umum Negeri Indonesia Jaya (Ninja) Suhadi, dalam keterangan tertulis yang diterima Tribunnews, Sabtu (28/10).
Isu ini diprediksi bakal diembuskan untuk menghambat Jokowi menjadi presiden dua periode. Karena isu seperti mantan Wali Kota Solo merupakan anak kader Partai Komunis Indonesia (PKI), keturunan Tionghoa dan lainnya, sudah tak berhasil dipakai pada pilpres lalu.
Meski meminta Jokowi berhati-hati, Suhadi yakin penyekatan antara pemimpin pro pribumi dan nonpribumi demi mendulang suara di pemilu tak bakal berhasil.
"Saya perkirakan enggak bakal laku di masyarakat. Apalagi di era modern, globalisasi dan keterbukaan seperti sekarang, rakyat pasti muak mendengarnya," kata dia.
Rakyat dinilai cukup cerdas, sehingga tak terpengaruh dengan strategi politik tersebut.
Masyarakat dianggap akan lebih berpihak terhadap calon pemimpin yang mau bekerja dan antikorupsi, tak peduli rasnya berasal. Kendati demikian, Suhadi tetap meminta Jokowi dan pendukung belajar dari Pilkada DKI.
"Harus diakui jika menyangkut agama, masyarakat kita cukup terikat secara emosional. Sehingga seringkali rasionalitasnya terganggu. Namun saya yakin apabila ada yang membuat sekat-sekat antara pribumi dan nonpribumi demi keuntungan politik, pasti tak diterima," tuturnya.
Lebih lanjut, Suhadi mengkritik cara-cara memenangkan kontestasi yang bisa memecah belah masyarakat dengan sentimen yang negatif seperti menggunakan isu Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA).
Sebab sejak awal, pendiri negara bersepakat merumuskan dasar negara yang mengacu pada kemajemukan.
Di samping itu, ia menilai sikap anti-kebhinekaan seharusnya sudah dihilangkan sejak Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 dinyatakan.
"Karena pada Sumpah Pemuda yang ada di negara ini bukan lagi orang Jawa, Sumatera, Sulawesi dan sebagainya. Tapi orang Indonesia yang berbahasa Indonesia dan bertanah air Indonesia," tandasnya.