Radikalisme Dinilai Sebagai Tantangan Kekinian Bukan Komunisme
Radikalisme ideologi telah merambah dunia mahasiswa. Proses itu dilakukan tertutup dan berpotensi memecah bangsa.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Radikalisme ideologi telah merambah dunia mahasiswa. Proses itu dilakukan secara tertutup dan berpotensi memecah belah bangsa.
Hasil survei LIPI, 4% orang Indonesia menyetujui kelompok militan Islamic State in Iraq and Syria (ISIS), 5% di antaranya mahasiswa.
Berdasarkan data itu, berarti 10 juta umat Islam Indonesia bersimpati kepada ISIS. Hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menyatakan, 9,2% warga negara Indonesia ingin mengganti Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan “khilafah”.
The Pew Research Center hasil surveinya menyatakan, 10 juta WNI berpaham radikal.

Di pihak lain, mantan Kepala Staf Kostrad Mayjen Kivlan Zen mengklaim komunisme dan Partai Komunis Indonesia (PKI) tengah bangkit di Indonesia, dengan jumlah pengikut mencapai 15 juta orang, bahkan bila ditambah dengan keluarganya mencapai 60 juta orang.
Tapi, hasil survei dan fakta berkata sebaliknya. Hasil survei SMRC menyebutkan, mayoritas warga tidak setuju saat ini sedang terjadi kebangkitan PKI di Indonesia.
Pendapat ini didukung 86,8% responden. Sedangkan yang menyatakan setuju hanya 12,6%.
Kepala Bareskrim Polri Komjen Ari Dono Sukmanto menyatakan, hingga kini belum ada temuan dan laporan polisi yang signifikan terkait bangkitnya komunisme atau organisasi PKI, baik di level Mabes Polri maupun daerah.
“Dengan kata lain, tantangan kekinian yang dihadapi bangsa Indonesia adalah radikalisme, bukan komunisme. Radikalisme berpuncak pada terorisme,” ungkap Sumaryoto Padmodiningrat dalam makalahnya bertajuk, “Pancasila Memperkokoh NKRI” yang ia sampaikan di hadapan ratusan mahasiswa dan civitas akademika Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Pelita Bangsa di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, Sabtu (21/10/2017).
Ia lalu merujuk jumlah korban terorisme di Indonesia sejak tahun 2000 hingga kini mencapai 350 orang tewas dan 851 orang terluka.
Sumaryoto menegaskan, saat ini ancaman komunisme relatif kecil, lebih besar ancaman radikalisme.
Apalagi, komunisme sebagai ideologi maupun sistem politik dan ekonomi telah bangkrut di berbagai belahan dunia, termasuk di Tiongkok dan Rusia yang dikenal sebagai “mbah”-nya komunisme.
Pemerintah juga mempertahankan Ketetapan MPRS No XXV/1966 yang diimplementasikan dengan UU No 27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara, dan menegakkan UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
“Pun tidak ada sokongan dari negara-negara lain bagi anasir-anasir kiri di Indonesia untuk membangkitkan PKI yang konon tengah tertidur,” jelas Sumaryoto yang juga anggota DPR RI periode 1999-2004, 2004-2009 dan 2009-2014.
Di pihak lain, kata Sumaryoto, Pancasila telah kehilangan nilai-nilai praksisnya.
Jangankan diamalkan, sekadar melafalkan teks Pancasila saja banyak di antara kita yang tidak hafal. Kalau pun ada yang hafal, sulit untuk mengamalkan nilai-nilainya.
"Akibatnya, bangsa Indonesia dilanda krisis multidimensi dan dekadensi moral,” cetus pria low profile ini.
Krisis multidimensi dan dekadensi moral, lanjut Sumaryoto, menumbuhsuburkan penyalahgunaan narkotika, korupsi, serta hoax (berita bohong) dan hate speech (ujaran kebencian) di era teknologi informasi dan media sosial (medsos) dewasa ini.
"Pun, proxy war atau perang dengan meminjam tangan pihak ketiga, tidak melalui kekuatan militer sebagaimana lazimnya perang konvensional, tetapi melalui berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk narkotika, pornografi dan hoax," ujar Sumaryoto.
"Pendek kata, selain komunisme dan radikalisme, tantangan yang tak kalah berat bagi Pancasila dan NKRI sesungguhnya adalah penyalahgunaan narkotika, korupsi, hoax, hate speech, dan proxy war,” papar dosen STIE Pelita Bangsa yang berlatar pengusaha ini.
Untuk mengatasi semua tantangan itu dan demi menyelamatkan NKRI, Sumaryoto menyarankan bangsa ini kembali ke Pancasila, bukan sekadar hafal teksnya, melainkan juga mengamalkan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari.
“Kalau mau NKRI ini tetap kokoh, mari amalkan Pancasila. Dengan Pancasila, cita-cita keadilan sosial bagi suluruh rakyat Indonesia akan terwujud. Kemiskinan, kebodohan dan kesenjangan sosial akan sirna, dan dengan itu komunisme dan radikalisme tak akan tumbuh,” tandasnya.