Kamis, 2 Oktober 2025

Hak Angket KPK

Rapat Paripurna DPR, Pengusul Hak Angket Ungkap Ketidakpatuhan KPK

Taufiqulhadi mengatakan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Kepatuhan KPK Tahun 2015 mencatat tujuh indikasi ketidakpatuhan

Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Suasana Sidang Paripurna ke-22 DPR di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (27/4/2017). Rapat paripurna DPR tersebut belum membahas surat permohonan hak angket untuk membuka rekaman pemeriksaan KPK terhadap eks anggota Komisi II Miryam S. Haryani pada kasus dugaan korupsi e-KTP. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Politikus NasDem Taufiqulhadi menyampaikan alasan penggunaan hak angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat rapat paripurna DPR.

Taufiqulhadi ditunjuk sebagai juru bicara pengusul hak angket KPK.

"Tidak perlu lagi dilakukan dalam berbagai bentuknya. Apalagi dalam kaitannya dengan pelaksanaan tupoksi KPK, DPR (dalam hal ini Komisi III DPR RI) mendapatkan masukan dan informasi tentang tidak selalu berjalannya pelaksanaan tupoksi KPK tersebut sesuai peraturan perundang-undangan dan tata kelola kelembagaan yang baik," kata Taufiqulhadi di hadapan peserta rapat paripurna DPR, Jakarta, Jumat (28/4/2017).

Taufiqulhadi mengatakan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Kepatuhan KPK Tahun 2015 mencatat tujuh indikasi ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.

1. Kelebihan Pembayaran Gaji Pegawai KPK yang belum diselesaikan atas Pelaksanaan Tugas Belajar.
2. Belanja Barang pada Direktorat Monitor Kedeputian Informasi dan Data yang tidak dilengkapi dengan Pertanggungjawaban yang Memadai dan Tidak Sesuai Mata Anggarannya.
3. Pembayaran Belanja Perjalanan Dinas, Belanja Sewa dan Belanja Jasa Profesi pada Biro Hukum.
4. Kegiatan Perjalanan Dinas pada Kedeputian Penindakan yang Tidak Didukung dengan Surat Perintah.
5. Standar Biaya Pembayaran atas Honorarium Kedeputian Penindakan.
6. Realisasi Belanja Perjalanan Dinas Biasa tidak sesuai dengan Ketentuan Minimal
7. Perencanaan Gedung KPK tidak cermat sehingga mengakibatkan kelebihan pembayaran.

"Selain yang terkait dengan tata kelola anggaran, Komisi III DPR RI yang melakukan pengawasan terhadap KPK juga mendapatkan masukan serta informasi yang terkait dengan tata kelola dokumentasi dalam proses hukum penindakan dugaan kasus korupsi," kata Anggota Komisi III DPR itu.

Contohnya, kata Taufiqulhadi, terjadinya “pembocoran” dokumen dalam proses hukum tersebut seperti: Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) dan Surat Cegah-Tangkal (Cekal) seperti yang juga dimuat dalam berbagai media.

Kemudian, kata Taufiqulhadi, terdapat dugaan ketidakcermatan dan ketidakhati-hatian dalam penyampaian keterangan dalam proses hukum maupun komunikasi publik, termasuk dugaan pembocoran informasi kepada media tertentu, sehingga beredar nama-nama penyelenggara atau pejabat negara, termasuk anggota DPR RI yang kebenarannya belum pernah dikonfirmasikan kepada penyelenggara atau pejabat negara yang bersangkutan.

"Selanjutnya, beberapa elemen masyarakat juga menyampaikan adanya ketidakharmonisan bahakan ikap insubordinasi dari kalangan internal KPK terhadap pimpinannya, yakni para Komisioner KPK," kata Taufiqulhadi.

Ia menyebutkan berbagai hal tersebut mengemuka dalam Rapat Dengar Pendapat yang sifatnya terbuka dengan KPK pada 17-18 April 2017.

Taufiqulhadi menuturkan secara khusus dalam rapat tersebut disoroti persoalan pencabutan BAP oleh Miryam S. Haryani dalam persidangan kasus e-KTP karena dugaan mendapat tekanan dari enam anggota Komisi III DPR RI.

Hal ini disampaikan pada persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat tanggal 30 Maret 2017 yang menghadirkan tiga orang penyidik KPK.

"Hal ini tentu kemudian menjadi polemik di masyarakat dan menempatkan DPR RI dalam sorotan sebagai lembaga yang tidak pro terhadap program pemberantasan korupsi," kata Taufiqulhadi.

Taufiqulhadi lalu menyebutkan sejumlah dasar hukum yang digunakan dalam mengusulkan hak angket yakni UUD 1945, UU MD3, Tatub DPR dan UU KPK.

Ia mengatakan DPR berkepentingan untuk menjaga keberadaan KPK yang tidak saja kuat dalam melaksanakan tupoksi-nya berdasarkan peraturan perundangan yang ada, namun juga KPK yang benar.

"Berdasarkan hal-hal yang telah menjadi asas dan ketentuan tersebut di atas, maka pengusul mengajukan usul untuk penggunaan Hak Angket berdasarkan Konstitusi dan UU MD3 dalam rangka melakukan pendalaman atas berbagai permasalahan atau penyelidikan atas pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK berdasarkan Konstitusi dan UU KPK," kata Taufiqulhadi.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved