Korupsi KTP Elektronik
Proyek e-KTP Bermasalah Sejak Lahir
Setiap tahun, ada 3,5 juta orang membuat KTP. Ini karena orang itu telah menginjak usia 17 tahun dan membutuhkan kartu identitas.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Proyek pengadaan KTP berbasis NIK periode 2011-2012 berujung masalah. Uang negara sebesar Rp 5,9 Triliun yang semula akan dipergunakan membiayai anggaran, malah dijadikan bahan bancakan bagi sejumlah orang.
Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), Agus Prabowo, menilai pengadaan e-KTP itu sudah bermasalah sejak awal. Itu karena pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melakukan pendekatan proyek bukan kelembagaan.
Padahal, menurut dia, e-KTP itu merupakan layanan pemerintah kepada masyarakat yang sifatnya setiap hari digunakan di seluruh Indonesia. Setiap tahun, ada 3,5 juta orang membuat KTP. Ini karena orang itu telah menginjak usia 17 tahun dan membutuhkan kartu identitas.
Ia menjelaskan, KTP itu merupakan sesuatu yang dinamis dan keberlanjutan yang dibutuhkan semua penduduk Indonesia. Oleh karena itu, ini menjadi ranah dari pemerintah untuk membuat dan menyediakan kartu identitas tersebut.
"Cara mengeksekusi tidak bisa dengan proyek. Nah kemarin itu dengan proyek, seolah-olah kontrak dengan pihak ketiga, dua tahun selesai. Tidak bisa. Pertanyaannya begitu, salahnya di mana? Salah dari lahir," tutur Agus Prabowo, kepada wartawan ditemui di kantornya, Rabu (15/3).
LKPP sebagai lembaga yang bertugas melakukan reformasi pengadaan barang/jasa pemerintah telah merekomendasi kepada Kemendagri terkait e-KTP. Saat menjabat ketua LKPP, Agus Rahardjo, pernah menyarankan Kemendagri tak menggabungkan sembilan lingkup pekerjaan proyek pengadaan e-KTP.
Sembilan lingkup pekerjaan proyek pengadaan e-KTP tersebut, yaitu pengadaan blangko KTP berbasis chip, pengadaan peralatan di data center dan disaster recovery center di pusat, pengadaan peralatan (perangkat keras) Kabupaten/Kota, pengadaan peralatan (perangkat keras) kecamatan.
Pengadaan sistem automated fingerprint identification system (AFIS), pengadaan perangkat lunak (software/application/OS), layanan keahlian pendukung kegiatan penerapan KTP elektronik, bimbingan teknis operator dan pendampingan teknis, dan penyediaan jaringan komunikasi data.
Menurut Agus Prabowo, alasan pemberian rekomendasi itu karena tidak ada perusahaan penyedia yang secara khusus mampu melaksanakan proyek pengadaan e-KTP. Sehingga sembilan paket proyek pengadaan e-KTP seharusnya dipisah.
Namun, saran tersebut tidak diindahkan pihak Kemendagri, sehingga terjadi dugaan korupsi dalam tender proyek tersebut.
"Untuk melaksanakan e-KTP itu ada kira-kira sembilan pekerjaan besar. Saya tanya ada tidak penyedia yang komplit punya keahlian? Tidak ada. Artinya, ideal harus dipecah-pecah keahlian. Pada waktu itu, rekomendasi LKPP jangan diserahkan semua satu paket, tetapi dipilah-pilah," kata dia.
Sejauh pengamatan dia, pembahasan mengenai e-KTP sehingga dapat mengeluarkan suatu rekomendasi itu dilakukan melalui mekanisme rapat. Pengambilan keputusan dilakukan secara terbuka, sehingga tak didominasi oleh Agus Rahardjo.
Pernyataan itu sekaligus membantah Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, yang mengatakan Agus Rahardjo memiliki konflik kepentingan dalam kasus megakorupsi ini karena sempat bermasalah dengan Kemendagri. Agus disebut pernah datang dengan kecenderungan pada konsorsium yang kalah.
"Pada waktu itu kan saya bantu beliau sebagai deputi dua kali yang membidangi regulasi dan SDM. Sejauh pengamatan saya terbuka, pengambilan keputusan, kita selalu rapat," ujarnya.
Ke depan, mengenai kelanjutan proyek e-KTP tersebut, kata dia, diperlukan keputusan politik tingkat tinggi dari Menteri Dalam Negeri ataupun Presiden. Dia menyarankan supaya kelanjutan proyek itu hanya diselesaikan di tingkat internal Kemendagri.