Korupsi KTP Elektronik
Benarkah Dokumen KPK Bocor, Siapa Pelakunya?
Hari ini beredar surat dakwaan kasus korupsi kartu tanda penduduk (KTP) elektronik (e-KTP) untuk tersangka Irman dan Sugiharto.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hari ini beredar surat dakwaan kasus korupsi kartu tanda penduduk (KTP) elektronik (e-KTP) untuk tersangka Irman dan Sugiharto.
Draft itu menyebut aliran dana korupsi e-KTP ke sejumlah mantan anggota Komisi II DPR.
Sejumlah nama yang disebut kini masih aktif menjadi politisi di Senayan.
Baca: PDI-P Siap Pecat Kadernya yang Terkena Kasus e-KTP
Selain itu, ada pula yang menjadi pejabat negara hingga kepala daerah.
Atas hal itu, Anggota Komisi III DPR RI Masinton Pasaribu menyayangkan kembali terjadi bocornya dokumen pemeriksaan penyidik maupun dakwaan tuntutan KPK untuk kesekian kalinya.
Politikus PDI Perjuangan ini menilai KPK perlu perbaiki sistemnya untuk menjaga kerahasiaan dokumennya.
Sehingga tidak gampang sekali bocor kepada publik sebelum waktunya.
Baca: Dua Terdakwa e-KTP Termasuk yang Kembalikan Uang ke KPK
Karena Masinton Pasaribu mengingatkan KPK bahwa baik sprindik dan BAP maupun surat dakwaan tergolong dokumen rahasia negara.
"Apakah ini disengaja atau tidak, seharusnya sistem di KPK mampu menjaga kerahasiaan dokumennya," ujar Masinton Pasaribu kepada Tribunnews.com, Rabu (8/3/2017).
Lalu siapa pelakunya?
Masinton Pasaribunmengatakan membocorkan rahasia negara yang berasal dari KPK bisa merugikan penanganan kasus yang sedang ditangani ataupun informasi-informasi lainnya yang terkait dengan lembaga antirasuah tersebut.
"Beredarnya dokumen rahasia negara sepertinya menjadi kebiasaan buruk atau "trend" yang sudah berulangkali dibocorkan oleh aparat penegak hukum di KPK. Hal ini, sebaiknya disikapi secara serius oleh KPK," kata Masinton Pasaribu.
Banyaknya dokumen rahasia yang diduga bocor dari KPK, Masinton Pasaribu melihatnya terjadi karena belum adanya sanksi tegas secara etika.
Baca: 14 Eks Anggota DPR yang Kembalikan Uang e-KTP Akan Jadi Tersangka, Siapa Saja Mereka?
Untuk mencegah situasi agar tidak berlangsung terus menerus, menurut Masinton Pasaribu, Komite Etik harus berani merekomendasikan sanksi tegas dan mengusut dugaan bocornya BAP dan Surat Dakwaan tersebut.
Jika tidak diusut dan diberikan sanksi tegas, imbuhnya, publik bisa menaruh curiga bahwa pembocoran dokumen rahasia oleh KPK bagian dari modus permainan KPK membentuk opini ke publik.
"Pembocoran dokumen rahasia tersebut adalah kategori malpraktek," katanya.
Masinton Pasaribu pun mengutip Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) yang mengatur ketentuan pidana bagi siapa saja yang membocorkan informasi yang dikecualikan atau rahasia negara dengan ancaman maksimal 2 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 20 juta.
Tidak Etis
Ketua Setara Institute, Hendardi juga mengkritisi pernyataan Ketua KPK, Agus Rahardjo yang menyebut ada keterlibatan sejumlah nama besar dalam dakwaan tersangka kasus tersebut adalah kurang etis.
"Apa yang disampaikan Agus Rahardjo (Ketua KPK) merupakan cara komunikasi politik yang kurang etis dari lembaga penegak hukum," ujar Hendardi dalam pernyataannya, Rabu (8/3/2017).
Terlebih pernyataan itu didukung dengan beredarnya surat dakwaan yang akan dibacakan dalam sidang perdana kasus tersebut di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (9/3/2017).
"KPK telah berpolitik dengan menyebarkan informasi pendahuluan dan rentan mengundang pihak-pihak yang terlibat untuk membuka ruang negosiasi, konsolidasi, termasuk kemungkinan menghilangkan barang bukti," ungkap Hendardi.
Masih menurut Hendardi, sekalipun tindakan pimpinan KPK tidak melanggar hukum, akan lebih baik jika KPK langsung mengambil tindakan penegakan hukum atas mereka yang terlibat.
Seperti mengintensifkan pemeriksaan dan melakukan penetapan tersangka.