10 Pejabat Ditjen Imigrasi Dinonaktifkan Usai Razia 103 Warga Arab di Puncak
Operasi tersebut dilakukan satu minggu sebelum kedatangan Raja Arab Saudi, Salman bin Abdulaziz al-Saud.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebanyak sepuluh orang pejabat Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM dinonaktifkan sementara dari jabatannya tak lama setelah pihak Ditjen Imigrasi menjaring 106 WNA, 103 diantaranya WN Arab Saudi, dalam operasi pengawasan orang asing di Puncak, Bogor, 21-22 Februari 2017.
Operasi tersebut dilakukan satu minggu sebelum kedatangan Raja Arab Saudi, Salman bin Abdulaziz al-Saud, yang rencananya akan berkunjung ke Tanah Air pada 1 Maret mendatang.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Redaksi Warta Kota, aksi operasi ini membuat Presiden Joko Widodo berang lalu menelepon Menkumham Yasonna Laoly.
Baca: Imigrasi dan Disnaker Razia WNA di Prime One School Medan
Baca: Ruhut Sitompul: Usir Orang Arab di Puncak
Selanjutnya, Yasonna marah kepada Dirjen Imigrasi Ronny F Sompie, hingga berujung pada penonaktifan sepuluh pejabat Ditjen Imigrasi tersebut.
Agung Sampurno, Kepala Bagian Humas dan Umum Ditjen Imigrasi, mengakui kebenaran penonaktifan sepuluh pejabat Imigrasi.
Namun, dia membantah hal itu dilakukan karena Menteri Yasonna marah-marah, melainkan karena adanya komplain dari masyarakat.
"Oh, nggak (karena Menteri Yasonna marah-marah). Kan tiap operasi itu kan pimpinan pasti tahu," ujar Agung kepada Warta Kota, Senin (27/2/2017).
Dia menjelaskan, selain 103 WN Arab Saudi, WNA lain yang turut terjaring adalah satu WN Yaman dan dua WN Maroko.
Agung menjelaskan, berdasarkan operasi tersebut ada komplain dari masyarakat kepada Kementerian Hukum dan HAM.
Kemudian sesuai dengan SOP (standard operating procedures) setiap komplain dari masyarakat lalu diteruskan kepada Inspektorat Kemenkumham.
"Komplain masyarakat ini memang dibuka oleh Undang-undang, dimungkinkan, karena bagian dari proses pengawasan," kata Agung.
Kesepuluh pejabat tersebut, bilang Agung, diperiksa Inspektorat sejak Jumat (24/2/2017) pekan lalu.
Namun, tidak disebutkan siapa saja mereka. Yang pasti, semuanya adalah pejabat Ditjen Imigrasi.
Dikatakan Agung, operasi tersebut merupakan operasi yang rutin dilakukan.
Saat itu, operasi melibatkan Tim Pengawasan Orang Asing (Timpora) yang terdiri dari polisi, tentara, Pemerintah Daerah, serta Imigrasi.
Namun Agung tidak menjelaskan apa isi komplain dan siapa yang melayangkan komplain itu.
"Kalau isi komplain, kemudian siapa yang komplain, tentu pemeriksa yang tahu karena kan nggak mungkin disampaikan. Itu kan haknya masyarakat untuk tidak dibuka. Tapi SOP-nya jikalau ada komplain, maka tugas dari Inspektorat untuk menindaklanjuti dengan memanggil orang-orang yang dianggap berwenang untuk melakukan kegiatan tadi," papar Agung.
Agung menegaskan, penonaktifan sepuluh pejabat itu tidak terkait dengan rencana kedatangan Raja Arab.
"Ya, nggak (terkait kedatangan Raja Salman). Ini peristiwa rutin yang tidak hanya baru sekali ini terjadi. Karena dalam setiap operasi keimigrasian penegakan hukum itu memang tidak lepas dari pengawasan masyarakat juga," kata Agung.
Operasi tersebut, lanjut Agung, sebenarnya juga bersumber dari informasi masyarakat sejak tahun lalu.
Sebelum penindakan dilakukan, pihak Imigrasi telah terlebih dahulu melakukan operasi intelijen untuk memverifikasi benar-tidaknya laporan tersebut.
"Setelah dirasa cukup barulah terjadi peristiwa operasi terbuka kemarin. Nah dalam operasi terbuka itu rupanya dianggap oleh sebagian masyarakat lainnya mengganggu," bilang Agung tanpa menyebut masyarakat yang dia maksud.
Agung menyampaikan, sesuai dengan SOP, tiap laporan harus ditindaklanjuti dengan pemeriksaan, tidak bisa langsung ditindak.
Dalam rangka itulah sepuluh pejabat tersebut akhirnya dinonaktifkan.
"Kenapa dinonaktifkan, supaya prosesnya cepat. Karena kalau dia merangkap pekerjaan sehari-hari nanti dia kadang dinas luar, ada yang kemana. Sementara laporan masyarakat itu kita SOP-nya ada, sekian hari harus selesai, ada jawaban maksudnya," jelas Agung.
Tidak ditahan
Agung mengungkapkan, ke-106 WNA tersebut tidak terjaring di satu tempat, melainkan di beberapa tempat di Kawasan Puncak, Bogor.
Pada saat dilakukan pengawasan pemeriksaan, sejumlah WNA yang terjaring tidak mampu menunjukkan dokumen perjalanannya.
Meski demikian, Agung berujar, dalam operasi itu tidak ada WNA yang ditahan karena tujuannya hanya pengawasan rutin, bukan penahanan.
"Di seluruh Indonesia setiap hari sekarang pun ada, karena itu memang tugas kita," ucapnya.
Agung menambahkan, setiap aparat penegak hukum memang sudah biasa berhadapan dengan komplain.
Karenanya, dia kembali menegaskan bahwa penonaktifan itu bukan karena kemarahan Menteri Yasonna atau terkait kedatangan Raja Salman.
"Waduh, nggak ada (kaitan dengan kedatangan Raja Salman), terlalu jauh," tutur Agung.
Penulis: Gopis Simatupang