Senin, 6 Oktober 2025

Syaiful Bakhri: Pelaku Terorisme Selalu Memanfaatkan Kondisi Kacau Negara

Kasus teror bom molotov di Gereje Oikuneme, Samarinda, Minggu (13/11/2016), kembali menggores kehidupan damai antara umat beragama di indonesia.

Editor: Toni Bramantoro
Hukum Online
Syaiful Bakhri 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus teror bom molotov di Gereje Oikuneme, Samarinda, Minggu (13/11/2016), kembali menggores kehidupan damai antara umat beragama di indonesia.

Apalagi teror itu terjadi hanya berselang beberapa hari demo besar umat muslim yang berujung kerusuhan di Jakarta, 4 November.

Meski secara tidak langsung, dua peristiwa itu dinilai memiliki benang merah sebagai bagian dari kelompok-kelompok yang ingin merusak kebhinekaan dan persatuan NKRI, dengan memanfaatkan 'kegaduhan' ibukota.

"Saya kira kejadian teror di Samarinda ada keterkaitan dengan peristiwa demo di Jakarta sebelumnya. Pelaku terorisme selalu memanfaatkan kondisi kacau negara dengan membuat teror. Tujuannya agar masyarakat makin ketakutan," kata salah satu kelompok ahli BNPT, Prof. Dr. Syaiful Bakhri, SH, MH, di Jakarta, Kamis (17/11/2016).

Ia menegaskan, bahwa aksi-aksi massa seperti 4 November kemarin sangat mungkin diboncengi oleh kelompok radikal untuk melakukan aksi terorisme.

Untuk itu, ia mengimbau agar masyarakat terpancing hasutan kasus penistaan agama yang dilakukan calon Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Selain itu, ia juga mengajak para ulama dan tokoh masyarakat untuk berperan "Terorisme itu gerakan laten dan terorisme itu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).

Bangsa Indonesia sudah sangat menderita akibat aksi terorisme yang selama ini terjadi. Kekacauan yang terjadi kemarin ini mencuri start dari polemik di ibukota.

Kalau ini berkepanjangan dan makin meluas, tentu Pria yang juga guru besar hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta mengaku agak khawatir dengan rencana akan kembali digelarnya aksi massa gelombang kedua.

Apalagi akan ada juga aksi unjuk rasa kebhinekaan. Hal itu dinilainya sangat berbahaya dan berpotensi menimbulkan gejolak dan bentrokan sosial. Ia khawatir kalau rencana aksi susulan itu kembali digelar, dampak dan ancaman ketertiban nasional akan semakin besar.

Untuk meredam kemungkinan terjadinya gejolak itu, Syaiful Bakhri mengungkapkan ada dua instrumen yang mesti dijalankan pemerintah. Salah satunya adalah ketegasan pemerintah untuk bisa menunda pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta.

Menurutnya, langkah itu itu adalah bagian antisipasi dari kemungkinan ancaman disintegrasi bangsa lebih besar, sebagai dampak dari kasus penistaan agama dalam Pilkada DKI Jakarta.

Seperti diketahui kasus penistaan agama memasuki babak baru, setelah Bareskrim Polri secara resmi menetapkan Ahok sebagai tersangka, Rabu (16/11/2016), sehari setelah dilakukan gelar perkara secara terbuka.

Menurut Syaiful, setelah ini akan ada babak baru yaitu pengadilan. Dengan status tersangka itu, dikhawatirkan akan menimbulkan keguncangan pada Pilkada DKI Jakarta yang digelar 15 Februari 2017.

"Bisa saja ada partai pendukung yang tidak mau ambil resiko melanjutkan dukungan, setelah penetapan tersangka. Begitu juga bila yang bersangkutan menarik diri, maka akan ada sanksi pidana dan denda sesuai UU Pilkada. Keadaan ini bisa menimbulkan kekisruhan politik karena itu akan menyulitkan dalam melakukan persiapan calon yaitu kampanye," ungkapnya.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved