Hati-hati Revisi UU Terorisme
Jangan sampai, revisi justru malah menjadi langkah mundur karena pelibatan militer yang berlebihan.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah dan DPR diingatkan untuk berhati-hati melakukan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Jangan sampai, revisi justru malah menjadi langkah mundur karena pelibatan militer yang berlebihan.
Menurut peneliti terorisme, Prof (ris) Hermawan Sulistyo, teror sesuai definisinya adalah membangkitkan ketakutan. Namun, teror bukanlah perang karena yang jadi sasaran adalah masyarakat sipil sehingga keterlibatan militer pun harus dibatasi..
"Karena itu (teror) ranah sipil. Maka harus ada proses hukum. Harus ada akuntabilitasnya mengapa seseorang mati dan siapa yang membunuhnya," ujar Hermawan dalam diskusi bertema Arah Revisi Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme di pressroom DPR RI, Selasa (28/6/2016).
Upaya pemberantasan teror, menurutnya juga bukanlah perang. Karenanya pemberantasan teror jangan ditarik ke sektor pertahanan.
"Kalau perang tidak perlu akuntabilitas siapa yang menembak. Seribu tentara mati kalau perang tak perlu ditanya matinya kenapa," tegasnya.
Hermawan kemudian memuji Polri yang sebenarnya sudah maju dalam mengatasi teror. Salah satu contohnya adalah Bom Thamrin.
"Siapa bilang bom Thamrin itu kecolongan? Dua menit setelah insiden pertama sudah ada tembak-tembakan. Dan ternyata ada dua bom yang lebih besar tidak meledak," Hermawan menegaskan.
Direktur Imparsial, Al Araf dalam diskusi tersebut menambahkan, pemberantasan terorisme sebaiknya tak melibatkan militer.
Menurutnya, pemberantasan teror dengan cara militer justru akan mengesempingkan HAM dan akuntabilitas.
Pemberantasan teror, katanya lagi, harus tetap ditempatkan dalam criminal justice system seperti yang sudah berlaku saat ini.
Sesuai Statuta Roma, katanya, teror dikategorikan sebagai kejahatan serius (serious crime), bukan kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
"Jadi tak perlu penanganannan ekstra sampai melibatkan milter,” katanya.
Al Araf menambahkan, sungguh aneh jika pemerintah menggunakan pendekatan perang sebagai pengganti criminal justice system untuk memerangi teroris.
Sebab, Indonesia sudah memisahkan antara pertahanan dan keamanan.
Indonesia memang pernah memiliki UU Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pertahanan dan Keamanan Negara.
Namun, UU itu sudah direvisi sehingga sektor keamanan dan pertahanan dipisahkan. Akhirnya ada UU khusus Polri dan UU khusus TNI.
"Fungsi pertahanan dengan penegakan hukum itu berbeda. UU Antiteros sebaiknya tetap pada criminal justice system," katanya.
Anggota Pansus RUU Antiterorisme, Sarifuddin Sudding menambahkan, terorisme memang tidak bisa ditangani dengan cara-cara biasa. Namun, ia tetap berpendapat bahwa pelibatan TNI tetap harus dibatasi.
"Ingat, undang-undangnya menyebut TNI hanya membantu, sedangkan pemberantasan (kewenangan penindakan) tetap ada di polisi. Di bawah Pak Tito (Tito Karnavian, red), kita harapkan penanganan teror lebih baik,” katanya.
Ia menambahkan, Pansus RUU Antiterorisme saat ini masih terus menyerap berbagai masukan. Termasuk tentang kemungkinan keterlibatan TNI.